Meski masih lebih rendah dari rata-rata keterisian mal periode 2007 hingga 2013 yang mencapai 166.500m2, angka serapan keterisian mal di Jakarta tahun 2016 mencapai 70.000 m2, meningkat dibanding 2014 dan 2015 yang berkisar 60.000 m2.
Angka keterisian mal yang lebih rendah dari periode 2007 hingga 2013 sendiri disebabkan oleh adanya kebijakan moratorium pendirian bangunan mal baru di Jakarta sejak 3 tahun terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tingkat okupansi atau keterisian sendiri diprediksi akan terus membaik seiring dengan berlakunya kebijakan moratorium yang membuat suplai juga tetap di angka yang rendah. Tingkat keterisian ini sendiri didorong oleh adanya ekspansi bisnis-bisnis makanan dan minuman yang semakin menjamur di mal-mal Jakarta.
Sebut saja brand-brand seperti Hokkaido, Genki Sushi, Sushi Tei dan aneka bisnis makanan lainnya membanjiri mal-mal di Jakarta. Selain itu, penjualan brand-brand kosmetik dan hiburan seperti bioskop juga menambah jumlah keterisian di mal-mal Jakarta sepanjang 3 tahun terakhir.
Adanya pertumbuhan okupansi membuat harga sewa mal di Jakarta secara stabil naik sebesar 5-6% per tahunnya.
"Harga sewa dari project ritel yang kelas A tetap tinggi dan mengalami kenaikan cukup stabil yaitu 5-6% per tahun. Karena banyak brand kelas menengah masih punya plan untuk ekspansi," tutur James.
"Permintaan terhadap sektor makanan & minuman juga fast fashion masih menjadi daya tarik utama bagi konsumen untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan," tukas Head of Retail JLL, James Austen yang hadir dalam kesempatan yang sama. (ang/ang)