Untuk mendorong sektor properti, Bank Indonesia (BI) kembali melakukan relaksasi atas peraturan loan to value (LTV) atau financing to value (FTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR). Kali ini BI memberikan peluang bagi perbankan untuk memberikan KPR secara penuh, atau dengan kata lain DP bisa sampai 0%.
Kebijakan ini tentu disambut baik masyarakat, begitu juga pelaku industri properti. Namun dalam pelaksanaannya BI dan perbankan dihimbau untuk berhati-hati.
Ketua DPD REI DKI Jakarta Chandra Rambey menilai, kebijakan relaksasi hingga dp 0% dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat membeli hunian. Jangan sampai kebijakan itu diartikan untuk mendorong konsumen meminjam ke perbankan.
"Nah ini yang kota harus berhati-hati. Karena kalau tidak berpotensi terjadi bubble. Kita bisa krisis," tuturnya di Hotle Ambhara, Jakarta, Selasa (4/9/2018).
Menurut Chandra, kebijakan ini hampir mirip dengan kebijakan kredit kendaraan motor dengan DP hanya Rp 500 ribu. Banyaknya pengajuan kredit motor juga seiring meningkatnya kredit macet saat itu.
Namun menurutnya, untuk kendaraan jika terjadi pembayaran cicilan yang macet akan mudah ditarik dan dijual kembali. Sementara untuk rumah, akan sangat sulit untuk dijual.
"Kalau itu terjadi di properti itu lebih bahaya. Karena menjual properti itu susah, kalau motor, ditarik dijual ruginya leasing cuma 10%. Kalau properti itu susah untuk dijual kembali. Butuh bertahun-tahun, tapi akhirnya cost of money-nya susah naik," tambahnya.
Jika itu terjadi, maka yang akan terkena dampaknya adalah perbankan. Rasio kredit macet akan meningkat.
"Kalau rumah pertama ditarik kan takut, tapi kalau rumah kedua enggak, ditarik biarin aja. Jadi gelinding ekonominya begitu. Nanti yang kena akhirnya perbankan kredit macet. Saya kira agak bahaya," tambahnya.
Meski begitu, Chandra mengaku cukup mengapresiasi keputusan BI untuk melakukan relaksasi. Namun dia berharap agar BI dan perbankan lebih berhati-hati.