Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan kedua skenario ini dibedakan berdasarkan jumlah penduduk yang akan menempati ibu kota baru. Skenario pertama, estimasi biaya perpindahan ibu kotanya sekitar Rp 466 triliun atau US$ 32,9 miliar. Kemudian skenario kedua, estimasi biayanya sekitar Rp 323 triliun atau sekitar US$ 22,8 miliar.
"Skenario pertama, jumlah penduduk ibu kota baru nantinya sekitar 1,5 juta penduduk dengan jumlah lahan yang dibutuhkan sekitar 40.000 Ha. Skenario kedua itu jumlah penduduk sekitar 870.000 orang dengan luas lahan yang dibutuhkan 30.000 Ha," katanya dalam diskusi di Gedung Bina Graha, Kantor Staf Presiden, Jakarta Pusat, Senin (6/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan di antaranya pembangunan gedung legislatif, eksekutif dan yudikatif, gedung dan rumah ASN/Polri/TNI, fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas pra sarana dan sarana penunjang serta kebutuhan pengadaan lahan.
Bambang mengatakan lokasi ibu kota baru nantinya harus berada di tengah Indonesia secara geografis. Kemudian pemerintah ingin meminimalkan pembebasan lahan dengan cara menggunakan lahan yang memang sudah dikuasai oleh negara.
"Dan minim bencana seperti gempa, tsunami, banjir, longsor dan tersedia sumber daya air yang cukup," katanya.
Selain itu, wilayah ibu kota yang baru juga harus dekat dengan kota yang sudah eksisting atau terbaru. Fasilitas infrastruktur dasar seperti bandara dan jalan juga diharapkan sudah ada sebelumnya.
"Dan lokasinya kalau bisa tidak jauh dari pantai karena Indonesia negara maritim," kata Bambang.
Wilayah ibu kota yang baru juga harus bisa menjaga potensi konflik sosial sekecil mungkin. Diharapkan penduduk yang ada di lokasi tersebut merupakan masyarakat yang sifatnya terbuka. (eds/ara)