Rata-rata harga rumah yang daerah pinggir Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Depok hingga Bogor sudah si kisaran Rp 400-600 jutaan untuk tipe menengah. Dengan harga segitu maka rata-rata cicilannya berkisar Rp 3-5 juta per bulan.
Idealnya agar keuangan tidak jebol cicilan bulanan maksimal 1/3 dari pemasukan. Artinya gaji yang harus dimiliki untuk harga rumah itu sekitar Rp 9-15 juta per bulan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pandangan Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata untuk menyelesaikan permasalahan ini pengembang tidak bisa sendirian. Pemerintah harus ikut memikirkan bagaimana caranya menyediakan rumah bagi kalangan menengah tanggung itu.
Kalangan masyarakat tersebut rata-rata merupakan masyarakat yang belum lama bekerja, atau bisa dibilang milenial. Kaum ini bisa dibilang sedikit rumit.
"Mungkin mereka starter ini gajinya Rp 5-6 juta. Kalau Rp 5 juta kemampuan kreditnya Rp 2 juta. Nah cicilan Rp 2 juta dapat rumah seperti apa coba. Itu tantangan pertama dari sisi income," tuturnya kepada detikFinance.
Permasalahan kedua, kalangan ini biasanya memiliki ekspektasi yang tinggi. Lantaran harapannya yang ketinggian tapi gaji tak sanggup, alhasil mereka memilih untuk ngontrak ataupun sewa apartement.
Pria yang akrab disapa Eman itu menilai, sejatinya masyarakat kekinian tidak begitu mempersoalkan jarak. Asalkan akses menuju tempat kerjanya mudah dan memadai.
"Indonesia harus punya perencanaan masa depan yang ruang jarak bukan lagi kilometer, tapi ruang jarak itu adalah waktu. Sekarang misalnya bangun apartemen di Maja. Tidak apa-apa tapi akses ke Jakarta cepat. Berarti jawabannya ya infrastruktur dengan transportasi publik," terangnya.
Pemerintahan era Jokowi sendiri memang sudah giat membangun infrastruktur dan transportasi umum. Namun prosesnya belum selesai secara maksimal. LRT belum sepenuhnya selesai, MRT hanya ada di ibu kota, sedangkan KRL masuh belum sepenuhnya nyaman.
Jika seluruh infrastruktur seperti jalan tol hingga transportasi umum sudah memadai hingga daerah-daerah yang jauh dari ibu kota, Eman yakin mereka mau membeli hunian didaerah yang jauh sekalipun. Asalkan hunian yang dibangun juga berkualitas.
"Di daerah juga bangunannya harus berkualitas, bukan yang jelek. Mungkin apartemen 4 lantai kualitas bagus ya cicilannya Rp 2 juta. Tapi itu harus dijawab dengan infrastruktur dan transportasi publik," kata Eman.
Sementara itu Eman menerangkan ada beberapa faktor yang membuat harga rumah begitu mahal. Salah satunya adanya kandungan non produksi dalam penetapan harga rumah.
"BPHTB mislanya, sekarang kan sudah 5%. Cuma maslahnya ada ini di pemerintah daerah bukan pemerintah pusat. Pemda kan ada 400 sekian yang punya pandangan berbeda. Mereka mengandalkan bahwa BPHTB pemasukan daerah," ujarnya.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB adalah pajak pembelian yang dibebani kepada pembeli. Besarannya 5% dikali harga jual dikurangi nilai jual obyek pajak tidak kena pajak. Nah besaran nilai tidak kena pajak berbeda setiap daerah.
Biasanya pengembang menawarkan gimmick bebas BPHTB. Padahal terkadang BPHTB sudah masuk dalam harga jual yang ditalangi terlebih dulu oleh pengembang.
Tak hanya BPHTB, masih ada sederet komponen biaya non produksi dalam harga jual properti. Misalnya biaya KPR yang rata-rata 5% dari plafond yang ditanggung pihak bank. Di dalamnya termasuk asuransi KPR.
Selain itu ada juga pajak penjual atau pajak penghasilan (PPH) dari pengembang sebesar 5% dari harga jual. Unsur ini juga membuat pengembang memutar otak mematok harga jual.
Belum lagi ada biaya notaris yang menyiapkan untuk akta jual beli (AJB) dan akta kredit. Belum lagi biaya tetekbengek lainnya yang biasanya dimasukkan dalam kandungan harga jual.
"Ini kan kalau BPHTB bisa dibuat kebijakan pusat dan bisa dilaksanakan di daerah, misalnya 1% atau bahkan di 0% kan, itu akan membantu konsumen," tutupnya.
(das/)