Program rumah DP Rp 0 menuai kritikan keras. Kritik tersebut sebagai respons terhadap pencapaian Anies Baswedan yang telah 3 tahun menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono misalnya, menilai Pemerinth Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta cuma fokus pada penyediaan rumah DP Rp 0, padahal memiliki banyak masalah dalam implementasinya.
"Kenapa ini terjadi? Karena pemprov hanya fokus pada penyediaan rumah DP Rp 0, padahal banyak masalah dalam implementasi DP Rp 0," sebut Gembong kepada wartawan, Kamis (16/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik juga datang dari Ketua Fraksi PKB-PPP DPRD DKI Jakarta, Hasbiallah Ilyas. Hasbi menyoroti janji rumah DP Rp 0 yang menjadi salah satu andalan Anies ketika kampanye.
Dia meminta Pemprov DKI melibatkan BUMD, seperti Jakpro dan Sarana Jaya, untuk membantu menangani proyek DP Rp 0. Menurutnya, langkah Dinas Perumahan selama ini kurang baik dalam mengurus proyek DP Rp 0.
"Rumah (DP) Rp 0 sampai hari ini belum maksimal, padahal sebelum pandemi ini kan seharusnya ada sesuatu yang bisa dilakukan tentang DP Rp 0. Kalau Pemprov DKI melibatkan BUMD yang ada, saya rasa cepat berhasil, karena kita tidak bisa menyerahkan program DP Rp 0 ini ke Dinas Perumahan misalnya," jelas Hasbi kepada wartawan.
"Dinas Perumahan tidak punya kemampuan tentang itu. Maka harus melibatkan pihak BUMD. DKI kan punya Jakpro, Sarana Jaya," sambungnya.
Tidak sampai di situ, pengamat perkotaan Yayat Supriyatna juga angkat suara. Dia menilai selama ini Pemprov DKI Jakarta terlalu memamerkan rumah DP Rp 0 sebagai rumah murah.
Padahal, sebetulnya program ini tak ada bedanya dengan penyediaan rumah MBR lainnya. Makanya setelah 3 tahun berjalan, program ini tak banyak menunjukkan kemajuan.
"Selama ini rumah DP Rp 0 disebut murah, padahal nggak cuma-cuma, padahal memang ini kayak rumah biasa aja, kayak KPR dan yang lain. Untuk kalangan menengah. Bukan untuk masyarakat kecil," kata Yayat kepada detikcom, Jumat (16/10/2020).
Dia mengatakan, syarat pembelian rumah DP Rp 0 masih susah dijangkau kebanyakan masyarakat yang ber-KTP Jakarta. Dia menilai lebih baik diperluas cakupannya.
"Sebetulnya kalau dilihat captive marketnya dilihat dari syaratnya penghasilan Rp 4 juta-Rp 8 juta dan wajib KTP DKI rasanya agak susah. Karena persyaratannya akan susah dipenuhi buat orang Jakarta. Harusnya ini dibuka koridornya lebih luas ke warga di luar DKI," kata Yayat.
Sementara itu, pengamat properti Ali Tranghanda, menilai permasalahan harga tanah jadi alasan utama lambatnya pembangunan Rumah DP Rp 0. Dia menilai, harga tanah di DKI Jakarta terlalu mahal untuk pengembang.
Dia mengatakan sistem perumahan yang diatur oleh pemerintah menurutnya juga kurang diminati pengembang swasta. Maka dari itu Pemprov DKI Jakarta harus lebih banyak bekerja sama dengan BUMN dan BUMD.
"Kalau saya lihat masalah tanah akan sulit, kalau permintaan kan banyak, DP berapapun bisa. Cuma tanahnya ini selain terbatas juga kan mahal di DKI pastinya," kata Ali kepada detikcom.
Pemprov DKI Jakarta pun buka suara menanggapi banjir kritikan tersebut. Langsung klik halaman selanjutnya.