Pasar Properti Lesu Kala Pandemi, Harganya Anjlok Sampai 20%

Pasar Properti Lesu Kala Pandemi, Harganya Anjlok Sampai 20%

Anisa Indraini - detikFinance
Senin, 16 Nov 2020 07:00 WIB
Pameran Indonesia Property Expo (IPEX) sukses digelar. Sebanyak 600 rumah ditawarkan. Pameran ini juga diikuti lebih dari 167 pengembang.
Foto: Muhammad Ridho
Jakarta -

Dampak virus Corona (COVID-19) tidak hanya kepada kesehatan, tetapi juga membuat harga rumah anjlok. Selama pandemi ini, harga rumah bekas alias second turun cukup signifikan.

Ketua Umum Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (Arebi) Lukas Bong mengatakan rumah bekas selama pandemi ini bisa turun sampai 20%. Hal itu terjadi karena adnya penurunan daya beli masyarakat terhadap pembelian rumah.

"Kalau rumah-rumah second itu ada penurunan. Kalau tipe kecil umumnya perubahannya tidak begitu besar range-nya sekitar 5% sampai 10%-an. Tapi kalau rumah besar, rumah mewah bisa 10% sampai 20%-an. Penurunannya lebih murah dibanding harga pasaran ya," kata Lukas kepada detikcom, Minggu (15/11/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan untuk harga rumah baru, pengembang disebut tidak menurunkan harga. Mereka hanya membuat produk rumah yang lebih kecil sesuai harga untuk pasar yang sedang diminati saat ini yakni untuk kelas menengah.

Sebelumnya Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estat Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida mengatakan penjualan rumah per Oktober 2020 mengalami peningkatan sebesar 1,59%. Peningkatan penjualan terjadi pada rumah menengah seharga Rp 500 juta sampai Rp 1,5 miliar per unit.

ADVERTISEMENT

"Karena tren yang ada berada sekitar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar yang terbanyak, sehingga kita merubah developer ini untuk site plan ke yang lebih kecil tapi lebih sehat. Jadi arsitekturnya kita sesuaikan supaya aliran udara dan layout lebih memenuhi keinginan dari masyarakat," ucapnya saat dihubungi terpisah.

Atas dasar itu, Paulus meminta bantuan kepada pemerintah. Klik halaman selanjutnya>>>

Paulus meminta adanya penundaan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pasalnya, banyak debitur yang tidak mampu bayar cicilan karena dirumahkan bahkan jadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi COVID-19.

"Khususnya untuk rumah sederhana bersubsidi, mereka itu banyak yang dirumahkan oleh industri dia kerja, kelas buruh ini, atau yang dulunya kerjanya setiap hari, sekarang seminggu 1-2 hari. Kalau disuruh ngangsur rumah kan nggak kuat, jadi end user-nya yang nggak berani merealisasikan. Itu kita butuh dia untuk menunda misalnya 6 bulan, hitung bungannya nggak apa-apa dia sanggup kok bayarnya, orang bunganya juga untuk rumah sederhana kan 5%," imbuhnya.

Kemudian untuk sektor properti non hunian seperti pusat perbelanjaan dan hotel, dia meminta diberikan relaksasi pajak PPh final sewa dari 10% menjadi hanya 5%.

"Untuk non hunian kita minta tetap pemerintah serius dan menangani relaksasi bukan hanya kredit tapi memberikan batasan-batasan. Relaksasi itu antara lain PPh final sewa untuk mal, itu kita kenanya cukup besar di 10%, kita minta turun di sekitar 5%," imbuhnya.

Kemudian, dia juga meminta adanya pemberian fasilitas dalam bentuk penghapusan sanski administrasi perpajakan berupa bunga atau sunset policy.

"Kita minta ada sunset policy supaya uang yang belum dilaporkan dalam SPT itu bisa menggairahkan perputaran ekonomi termasuk di bidang real estat karena yang kemarin di tax amnesty itu kan yang ikut baru 15%. Jadi masih ada uangnya orang Indonesia di perusahaan yang 85% belum dilaporkan. Ini kan jadi stuck, daripada kita utang bank, kasih lah relaksasi," ucapnya.


Hide Ads