Pengamat: Harusnya Rumah Bebas PPN Tak Cuma buat Ready Stock

Pengamat: Harusnya Rumah Bebas PPN Tak Cuma buat Ready Stock

Vadhia Lidyana - detikFinance
Senin, 01 Mar 2021 18:45 WIB
Sebuah keluarga kecil sedang meninjau rumah yang sedang dibangun memakai fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., di pinggiran Jakarta, Jumat (3/7). Di era New Normal, Bank BTN tetap memacu penyaluran kredit perumahan untuk membantu pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional. Adapun, per 31 Mei 2020,  perseroan  sukses merealisaskan KPR FLPP untuk membiayai 46.798 unit atau setara dengan Rp 4,7 triliun.
Foto: dok. Bank BTN
Jakarta -

Pemerintah baru saja mengumumkan insentif bebas pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pembelian rumah tapak dan rumah susun dengan harga paling tinggi Rp 2 miliar. Ada juga diskon PPN 50% untuk pembelian hunian rumah tapak maupun rumah susun dengan harga di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.

Insentif itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21 tahun 2021 yang baru saja diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sore ini. Insentif PPN tersebut berlaku untuk masa pajak Maret 2021 hingga Agustus 2021.

Selain itu, insentif berlaku jika huniannya diserahkan secara fisik sampai akhir Agustus mendatang, artinya, hanya untuk rumah ready stock. Dengan demikian, pembelian rumah inden, khususnya untuk rumah yang belum terbangun atau selesai terbangun sampai 31 Agustus tak akan memperoleh insentif PPN tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu pun disoroti oleh CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda. Ia menuturkan, kebijakan itu hanya bisa diminati oleh pengembang yang memiliki rumah siap huni atau ready stock.

Sedangkan pengembang yang belum memiliki rumah ready stock harus segera membangun rumah yang terjual atau memang menjual rumah ready stock. Di luar rumah ready stock, ada yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah karena untuk membangun rumah di segmen tertentu mungkin bisa di bawah 6 bulan, namun untuk rumah yang di atas 1 miliar, periode pembangunan rumah memakan waktu lebih dari 6 bulan dan tidak bisa dipaksakan 6 bulan.

ADVERTISEMENT

Ia mengatakan, semakin lama masa penjualannya, maka semakin pendek jangka waktu pembangunan yang harus dikejar pengembang untuk membangun rumah. Hal ini dinilainya sangat memberatkan pengembang di saat saat ini cash flow yang terganggu. Selain itu ada batasan jumlah unit yang bisa terbangun sampai periode berakhir.

"Harusnya pemerintah memahami hal tersebut di lapangan, dan tidak dibatasi aturan harus terbangun sampai 31 Agustus 2021. Karena ini dikhawatirkan menjadikan aturan ini tidak akan berjalan lancar ke depan dan hanya dinikmati oleh pengembang yang memiliki banyak rumah stock," jelas Ali dalam keterangan resminya, Senin (1/3/2021).

Selain itu, menurutnya kebijakan ini akan menghambat penjualan rumah inden, atau rumah yang belum terbangun. "Di sisi lain penjualan properti inden pasti malah akan tertahan," tegas Ali.

Simak juga video 'Alasan Sri Mulyani Akhirnya Beri Insentif PPnBM Mobil Baru':

[Gambas:Video 20detik]



Ia mengingatkan agar kebijakan ini jangan sampai memberikan kesan bahwa pemerintah memberi kebijakan setengah hati dan tidak akan berdampak luar biasa. Menurut Ali, apabila fokus pemerintah hanya untuk menghabiskan stok rumah, rasanya kurang tepat. Pasalnya, menurut Ali yang harus difokuskan pemerintah adalah potensi daya beli yang besar di masyarakat menengah untuk membeli rumah baru dan tidak dibatasi hanya untuk rumah ready stock.

"Kebijakan yang harusnya luar biasa ini menjadi kontra produktif karena ada aturan ready stock. Fokus pemerintah harusnya memperbesar pasar, bukan hanya untuk menghabiskan stok rumah. Paling tidak ada patokan standar progres bangunan sampai batas akhir periode relaksasi, dan tidak harus ready stock," tandas dia.


Hide Ads