Banyak Proyek Apartemen Mangkrak, RI Disarankan Sontek Australia-Singapura

ADVERTISEMENT

Banyak Proyek Apartemen Mangkrak, RI Disarankan Sontek Australia-Singapura

Shafira Cendra Ar - detikFinance
Rabu, 22 Feb 2023 18:30 WIB
Rusun Sumber Arta jadi populer setelah dijadikan lokasi syuting film Pengabdi Setan 2: Communion.
Foto: Febri/detikcom
Jakarta -

Hunian merupakan salah satu kebutuhan primer dari masyarakat sehingga permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun hingga saat ini kasus-kasus proyek mangkrak, khususnya proyek hunian vertikal seperti Apartemen Meikarta masih terus menghantui masyarakat.

Pengamat dan Ahli Properti, Steve Sudijanto, mengatakan saat ini kondisi perekonomian global membuat masyarakat lebih waspada dalam mengeluarkan uangnya. Akibatnya, daya beli pun menurun. Penjualan unit apartemen menurun, hingga pembangunan fisiknya terhambat.

Menurut Steve, pemerintah Indonesia bisa mencontoh kebijakan yang diterapkan Australia dalam mengatur penjualan properti. Salah satunya yakni semua pembangunan yang masih off the plan alias beli gambar dan indent, hanya diwajibkan membayar uang muka atau deposit sekitar 5-20%.

"Pada saat pembangunan sudah selesai baru pelunasan dilakukan. Jadi resiko konsumen hanya sejumlah deposit saja. Hal ini dapat memperkecil resiko konsumen," katanya, saat dihubungi detikcom, Rabu (22/2/2023).

Senada dengan Steve, Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit juga menyarankan agar pemerintah RI meniru skema yang dilakukan Australia itu.

"Di Australia unik. Kamu baru bayar DP setelah bangunannya selesai. Jadi sudah mau selesai baru dicicil DP-nya. Nanti bank yang membayar kreditnya, pembiayaan," kata Simanungkalit, saat dihubungi terpisah.

Ia juga turut menyoroti aturan ketat yang diterapkan oleh pemerintah Singapura. Saking ketatnya, menurutnya para pengembang di sana hampir tidak mungkin melakukan aksi penipuan.

"Bahkan uang kamu tuh kalau pengembangnya memang nggak bisa menyelesaikan akan dikembalikan. Nggak langsung disetor ke pengembangnya. tapi ditempatkan di escrow account (rekening penampungan) yang kamu bisa ambil kalau memang kamu keberatan," katanya.

Tidak hanya itu, Panangian juga menyebut kalau konsumen properti di sana juga tidak mungkin membayar lunas properti tersebut sebelum bangunannya selesai.

"Jadi misalnya rumah baru jadi 5%, kamu bayar 5%. Begitu seterusnya, progresif. Dipantau pemerintah. Jadi terlindungi," katanya.

Sementara di Indonesia sendiri, menurutnya campur tangan pemerintah dalam urusan properti terbilang masih kurang, apalagi yang menyangkut perlindungan konsumen. Alhasil, posisi konsumen lemah di mata hukum.

"Posisi hukum antara pengembang dengan konsumen tidak diatur sedemikian di Indonesia. Sehingga kalau membeli properti dengan gambar (belum jadi), udah nggak mungkin menang. Karena hukumnya tidak melindungi kepentingan kamu sebagai pembeli," katanya.

Panangian mengatakan, ada Undang-Undang yang khusus menangani perihal eksekusi perumahan. Hanya saja menurutnya, pengawasannya saat ini terbilang kurang. Terlebih setelah Presiden RI Joko Widodo membubarkan Kementerian Perumahan, perkara perumahan pun kini hanya diawasi di setingkat Direktorat Jenderal.

"Ada kekosongan hukum di bidang perumahan, ada kekosongan lembaga. Itu yang membuat persoalan perumahan dalam 8 tahun ini sangat kacau. Persoalannya sangat basic. Kalau UU tidak dieksekusi, dan tidak buat orang masuk penjara, ya tidak akan ada yang patuh. Tidak bisa membuat orang takut," ujarnya.

Dengan demikian, posisi pengembang di mata hukum pun kuat. Ia berharap, ke depan pemerintah dapat menaruh perhatian lebih dan memperketat pengawasan pada sektor perumahan.

(das/das)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT