Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang Brodjonegoro saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (12/9/2011).
"Cukai rokok tidak akan mematikan industri rokok. Kita akan biarkan hidup tapi kita juga akan mengontrol konsumsinya. Karena selama ini rokok adalah konsumsi terbesar kedua setelah beras," tutur Bambang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita juga tidak ingin petani cengkeh, petani tembakau itu juga mati," kata Bambang.
Karena itu tahun depan kenaikan tarif cukai rokok yang bakal diterapkan oleh pemerintah sangat terbatas yaitu rata-rata 12,2%.
"Memang idealnya mungkin suatu saat kita bisa seperti di AS. Di AS industri rokoknya tumbuh, konsumsi rokok terkendali, dan cukainya sangat tinggi dan memang solusinya mereka bisa ekspor rokok. Kita memang saat ini belum bisa banyak melakukan ekspor rokok, karena sebagian besar produksi rokok kita adalah rokok kretek. Jadi masih susah diekspor," papar Bambang.
Belum lagi masalah ekspor rokok Indonesia ke AS. Saat ini AS tetap ngotot mencegah ekspor rokok asal Indonesia ke negeri Paman Sam tersebut.
Diakui Bambang juga, satu-satunya cara untuk membatasi konsumsi rokok di dalam negeri adalah dengan mengoptimalkan kenaikan tarif cukai rokok. Jadi meskipun produksi naik, terpaksa harus diekspor.
"Cukai harus dinaikkan tinggi. Tapi kita akan bertahap dan pelan-pelan. Tidak hanya industri rokok yang diperhatikan tapi juga kita sebagai perokok pasif harus dipikirkan," jelas Bambang.
"Indonesia itu komponen harganya setengahnya cukai. Di Polandia itu 80% dari harga itu cukai, dan artinya kita harus terus naikkan. Secara rata-rata itu kita masih 50%," tukas Bambang.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), selain untuk membeli beras, penghasilan orang miskin di Indonesia dikeluarkan untuk membeli rokok.
Untuk membeli beras, masyarakat miskin di kota menghabiskan 25,44% penghasilannya, sedangkan masyarakat desa menghabiskan 32,81%. Sementara untuk rokok, masyarakat miskin di kota mengeluarkan 7,7% dan di desa 6,3%.
(dnl/dnl)