AP II saat ini menjadi operator Bandara Halim, sedangkan induk dari Lion Air mengklaim memiliki izin atas pengelolaan Bandara Halim, dari kerjasama dengan Induk Koperasi Angkatan udara (Inkopau) TNI AU, yang ditandatangani sejak 2005.
Sebetulnya bagaimana cerita pengelolaan, hingga munculnya konflik pengelolaan Bandara Halim?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, pengelolaan belum berada di bawah badan usaha. Baru mulai 1985, ada pengalihan pengelolaan Bandara Halim dari Angkasa Pura (dahulu belum terbagi 2), kepada Angkasa Pura II.
"Tahun 1992 ada PMN (Penyertaan Modal Negara) kepada AP II dalam bentuk runway, gedung, apron, taxiway, dan peralatan perhubungan. Itu menjadi aset AP II," kata Syahrir kepada detikFinance, Rabu (15/10/2014).
Selanjutnya di 1997, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan saat itu menandatangani kesepakatan. Dalam perjanjian tersebut, terdapat izin penggunaan penuh Bandara Halim, untuk melayani penerbangan sipil, namun perjanjian berlaku selama 5 tahun dengan skema evaluasi.
"Namun setelah 5 tahun kemudian dievaluasi, namun di sana nggak ada ketentuan nggak bisa diperpanjang," jelasnya.
Selanjutnya Lion Group, melalui anak usahanya PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS), mengklaim telah mengantongi izin kerjasama dengan Induk Koperasi Angkatan udara (Inkopau) TNI AU selaku pemilik lahan sejak 2005.
Lion Group memiliki saham 80% di ATS sedangkan Inkopau menguasai 20% saham di ATS. Dalam perjanjian itu, Inkopau memberi restu kepada Lion Group untuk mengelola lahan seluas 21 hektar di Bandara Halim.
Bibit konflik dimulai di sini. Pasalnya, lahan yang dikerjasamakan ternyata terdapat aset milik AP II.
"Di sana ada sebagian aset milik AP II. Aset yang masuk dalam perjanjian itu seperti runway, taxiway, gedung, apron, dan alat perhubungan," ujarnya.
Setelah berjalannya waktu, anak usaha Lion Group tersebut menggugat Inkopau karena wanprestasi alias melanggar perjanjian. Sebab hingga kini, pengelolaan Bandara Halim tidak kunjung diberikan kepada ATS.
"Inkopau kena wanprestasi. AP II juga dibawa-bawa sebagai tergugat 2. Padahal kita nggak terlibat di dalam perjanjian," jelasnya.
Atas gugatan tersebut, AP II siap menempuh jalur hukum. Keputusan hukum saat ini masih menunggu hasil kasasi di Mahkamah Agung (MA). Selain itu, AP II merasa tidak diajak koordinasi terkait program induk Lion Air tersebut untuk mempercantik Bandara Halim.
"Kami juga nggak diajak koordinasi saat pemaparan kemarin. Saat ini status kita masih sebagai pengelola Bandara Halim," katanya.
Melihat ribut-ribut seperti ini, perseroan memandang perlunya pertemuan antara Inkopau, Lion Group, regulator, hingga AP II. "Ini perlu ada pembicaraan 3 pihak karena secara regulasi tidak mungkin airport dikelola oleh 2 badan usaha berbeda," paparnya.
Sehari sebelumnya, pihak Lion Air berencana mengembangkan area terminal, kelengkapan bandara, runway, hingga pembangunan monorel khusus bandara. Untuk rencana pengembangan tersebut, Lion Air menyiapkan Rp 5 triliun.
Pihak Lion Air menegaskan, rencana bisnis tersebut diambil karena merujuk pada penjajakan kerjasama antara Lion Group dengan Induk Koperasi Angkatan udara (Inkopau) yang terjadi pada 2004.
Β
Kemudian perjanjiannya baru berlaku efektif sejak 2005 dengan masa konsesi 25 tahun.
(feb/dnl)