"Saya buat Permen (Peraturan Menteri), tidak ada saya membuat pencitraan," tegas Susi di depan para anggota DPR di Badan Anggaran (Banggar) di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Rabu (21/01/2015).
Selain soal larangan penangkapan lobster bertelur, aturan yang telah dirilis antara lain moratorium izin tangkap kapal eks asing di atas 30 GT, larangan transhipment atau bongkar muat di laut, membuka data kapal-kapal ikan di internet sehingga semua orang tahu kapal bodong atau resmi, kewajiban pemasangan VMS (Vessel Monitoring System) 24 jam dan lain-lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya kebijakan larangan transhipment atau bongkar muat ikan di tengah laut yang diatur dalam Permen KP No. 57/2014. Menurut Susi aturan larangan transhipment telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
"Transhipment memang tidak boleh dan ternyata selama ini ada aturan yang memperbolehkan," imbuhnya.
Sedangkan untuk aturan pelarangan tangkap kepiting, lobster dan rajungan dalam keadaan bertelur, Susi mengungkapkan landasannya karena populasi ketiga jenis spesies ini terus berkurang di laut Indonesia. Caranya dengan melakukan pengendalian yaitu larangan tangkap ketiga jenis spesies ini yang dalam keadaan bertelur dan bibit.
"Kita lihat di Karantina Makassar dan Balikpapan penurunan drastis, kalau tidak dikendalikan akan habis. Di Simeuleu (Aceh) cari lobster saja susah. Bibit ini juga kan dari alam bukan dari adonan kue," paparnya.
Terkait larangan penangkapan lobster, kepiting, rajungan anakan, Susi mengatakan selama ini Nusa Tenggara Barat (NTB) masih menjadi pengekspor bibit lobster terbesar di dunia terutama ke Vietnam. Setiap tahun NTB mau mengekspor 5-7,5 juta ekor bibit lobster berukuran 3-5 cm.
"Bibit lobster dari Lombok setahun diekspor 5-7,5 juta ekor itu berat 50 gram dihargai US$ 1 dolar/ekor jadi Rp 50 miliar. Padahal ditunggu saja 2-3 bulan harganya jadi Rp 1 juta kg," katanya.
(wij/hen)