The Fed, sebagai pencetak dolar yang menjadi mata uang dalam perdagangan internasional dan alat investasi para investor keuangan global, selalu menjadi pusat perhatian.
Bayangkan, dolar belakangan ini bisa menguat mencapai Rp 13.000 lebih, dan menguat juga kepada sejumlah mata uang negara lain. Ini semua akibat spekulasi soal rumor rencana The Fed menaikkan suku bunga acuannya, karena kondisi ekonomi AS yang membaik pasca krisis di 2008 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan bunga acuan The Fed ini menjadi risiko bagi perekonomian Indonesia. Seperti disampaikan Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, bila kenaikan bunga ini terjadi, maka likuiditas dolar AS yang selama ini ditaruh di negara-negara berkembang, akan balik lagi ke negara asalnya, alias pulang kampung. Kondisi ini bakal membuat dolar menguat dan menekan rupiah. Dalam data BI, pertumbuhan ekonomi AS tahun ini akan mencapai 3,2%, dari tahun lalu 2,4%.
Namun ternyata, beberapa waktu lalu, Gubernur The Fed, Janet Yellen, mengumumkan belum adanya kenaikan bunga The Fed (kasih link).
"Yellen pidato di San Fransisco mengatakan, ekonomi AS belum cukup baik, jadi mereka ingin mengoptimalkan pemulihan yang terjadi. Karena kenaikan bunga yang terlalu cepat akan membuat pemulihan jatuh. Namun Yellen menyebutkan, kenaikan bunga acuan dijamin akan dilakukan tahun ini," ujar Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Solikin M. Juhri, di Bintan, Sabtu (29/03/2015).
Kondisi ini membuat investor di pasar keuangan dunia menebak-nebak, dan akhirnya mata uang di dunia bergejolak.
BI mengakui, memang sempat ada dana asing yang keluar di sejumlah instrumen investasi keuangan Indonesia. Namun di 2015, ujar Solikin, dana asing yang masuk sejak awal tahun mencapai Rp 42,6 triliun, baik di Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan juga saham.
(dnl/ang)