Seperti diketahui, Asosiasi Pengusaha Pemotong Hewan (APPHI) beberapa waktu lalu membuat surat edaran agar semua Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tidak melakukan pemotongan sehingga pasokan daging sapi ke pasar langka.
"Tidak ada rencana melakukan hal (pemberian sanksi) itu. Kita harapkan (pemogokan) tidak terjadi lagi," kata Amran usai pertemuan dengan para pengusaha feedloter di Kementan, Jakarta, Jumat (21/8/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sudah komunikasi 2 arah. Kita sudah sepakati bahwa harga pada posisi Rp 38.000/kg. Artinya harga sudah bagus, ke depan harga sudah kita anggap pas dan sesuai, jadi tidak ada masalah. Apalagi kita bentuk tim bersama," ucapnya.
Namun Amran tak menutup kemungkinan bahwa feedloter-feedloter yang dituding oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penimbunan bisa mendapat rekomendasi impor sapi bakalan (untuk digemukan) lagi dari Kementan.
"Kita lihat nanti, masalah sudah selesai," ujarnya.
Amran dan para pengusaha feedloter juga membentuk tim kecil yang beranggotakan 4-5 orang. Anggota tim terdiri dari perwakilan Kementan dan pengusaha feedloter. Fungsi tim ini adalah membicarakan segala masalah yang ada di lapangan, terutama harga dan pasokan sapi. Diharapkan, tidak terjadi lagi gejolak harga daging sapi di pasaran.
Sebelumnya, penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri melakukan pemeriksaan terhadap dua orang saksi dalam kasus menahan stok sapi atas dugaan perbuatan melawan hukum terkait surat edaran yang dikeluarkan kepada pedagang daging sapi.
Bareskrim telah melakukan pemeriksaan dua orang saksi dari Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) serta Asosiasi Pengusaha Pemotong Hewan Indonesia (APPHI) pada Selasa malam (18/8).
Dalam UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 107 berbunyi pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
(hen/hen)