Thorium Lebih Ramah Lingkungan Dibanding Uranium

Thorium Lebih Ramah Lingkungan Dibanding Uranium

Ardan Adhi Chandra - detikFinance
Selasa, 24 Mei 2016 18:36 WIB
Foto: Ardan Adhi Chandra
Jakarta - Pemanfaatan energi nuklir dengan thorium dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan penggunaan uranium. Thorium merupakan energi yang relatif lebih aman bagi makhluk hidup dan lingkungan.

Pemanfaatan thorium nantinya dapat digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) dengan hasil limbah yang tidak terlalu banyak dibandingkan uranium.

"Produksi listrik kita mengkhususkan di thorium karena problem selama menggunakann uranium selalu meninggalkan limbah yang cukup banyak. Thorium limbahnya sedikit dan bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar airspace," ungkap Direktur Utama Industri Nuklir Indonesia (Inuki) Yudiutomo Imardjoko pada Seminar Nasional Thorium sebagai Sumber Daya Revolusi Indonesia di Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (24/5/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengembangan energi nuklir khususnya dengan bahan baku thorium masih amat minim. Padahal para investor di dunia telah menggelontorkan dana ratusan juta dolar untuk mengembangkan proyek energi thorium di Indonesia. Selain itu, terbenturnya izin pembangunan karena regulasi juga membuat pengembangan energi thorium masih jalan di tempat.

"Teknologi siap, infrastruktur siap tidak menggunakan APBN sama sekali tapi tidak bisa dibangun karena regulasi. US$ 805 juta sudah siap tapi tidak bisa dibangun padahal cadangannya cukup banyak," kata Yudi.

Dalam waktu dekat, Singapura memberanikan diri untuk membangun PLTT pertama di dunia dan diperkirakan akan jadi proyek percontohan bagi negara-negara lainnya termasuk Indonesia. Padahal dulunya orang Singapura banyak yang belajar mengenai nuklir ke Indonesia dengan di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga Institut Teknologi Bandung (ITB).

"Singapura ingin jadi negara pertama yang punya PLTT. Mereka ingin negara lain belajar PLTT ke sana. Dulu tahun 1970-an mereka belajar nuklir ke UGM dan ITB, tapi berapa tahun kemudian datang orang Indonesia belajar ke Singapura," tutup Yudi. (ang/ang)

Hide Ads