Pengusaha: Skema Kenaikan UMP Lama, Naiknya Gila-gilaan

Pengusaha: Skema Kenaikan UMP Lama, Naiknya Gila-gilaan

Muhammad Idris - detikFinance
Senin, 01 Mei 2017 11:50 WIB
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Dalam peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun ini, organisasi serikat buruh menggelar demonstrasi di berbagai daerah, dengan masa paling besar terkonsentrasi di Jakarta. Salah satu tuntutan utama yang disuarakan serikat buruh, yakni penghapusan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan.

Buruh menuntut pengaturan Upah Minimum Provinsi (UMP) dikembalikan pada aturan lama, yakni kenaikan upah didasarkan atas kesepakatan tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah untuk menetapkan besaran 60 item Komponen Hidup Layak (KHL). Sementara dalam regulasi terbaru, kenaikan upah dihitung dari angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.


Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengungkapkan aturan kenaikan upah yang baru seperti sekarang ini sudah sesuai dengan keinginan pengusaha. Pasalnya, perhitungan kenaikan upah yang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, lebih memberikan kepastian berusaha bagi kalangan pengusaha.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau zaman sebelum-sebelumnya kan kenaikan upah bisa gila-gilaan, naiknya (UMP) bisa 20% sampai 30%. Pengusaha benar-benar tidak memiliki kepastian, kalau sekarang kita sudah bisa hitung karena bisa tahu kenaikannya. Lebih pasti, pengusaha tidak dipermainkan," ujar Hariyadi kepada detikFinance, Senin (1/5/2017).

Soal tuntutan yang diminta sejumlah serikat buruh, menurut dia, seharusnya bisa melihat kondisi industri saat ini banyak yang terpuruk. Hal ini membuat sejumlah perusahaan menahan ekspansi yang dampaknya pada penyerapan tenaga kerja baru yang rendah.

"Situasi sekarang lebih sulit. Kalau menuntut harus melihat juga kondisi industri yang cuma tumbuh 3,6%, artinya penyerapan tenaga kerja juga sedikit. Malah banyak PHK akhir-akhir ini," tuturnya.

Lanjut dia, selain daya beli yang menurun, melemahnya industri di dalam negeri juga diakibatkan banyaknya barang impor yang masuk.

"Tren relokasi industri ke yang upahnya lebih murah seperti ke Jawa Tengah juga menurun. Karena bukan lagi soal upah, kalau kita produksi barang ada tidak yang beli? Karena impor banyak sekarang, sementara industri kita sulit bersaing. Yang diuntungkan Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Jadi harus serikat buruh harus realistis melihat kondisi sekarang," ujar Hariyadi. (idr/dna)

Hide Ads