Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo mengatakan, kepastian hukum dengan PP pemeriksaan pajak akan diterima langsung oleh WP orang pribadi dan badan, maupun yang ikut tax amnesty dan tidak ikut.
"Kami mengapresiasi langkah tersebut agar tercipta kepastian hukum bagi wajib pajak, baik yang mengikuti pengampunan pajak maupun tidak mengikuti pengampunan pajak," kata Yustinus dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Pengusaha Was-was Aksi Berburu Petugas Pajak |
Yustinus melanjutkan, PP Pemeriksaan Pajak juga untuk memperjelas beberapa ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak, terutama dalam kaitannya dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan aturan turunannya yang terkait.
Dia berharap, sebelum diterbitkan, pemerintah dapat mengatur dengan jelas mengenai daluwarsa penetapan pajak, penggunaan nilai harta, besaran sanksi, penyelesaian sengketa, dan prioritas pemeriksaan.
Mengenai daluawarsa penetapan pajak, menurut Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, apabila di kemudian hari ditemukan data dan/atau informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atau dilaporkan dalam SPT Tahunan bagi wajib pajak yang tidak mengikuti pengampunan pajak, maka harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh pada tahun ditemukannya data dan/atau informasi.
Bagi WP yang ikut pengampunan pajak tidak dikenal jangka waktu, sedangkan bagi WP yang tidak ikut pengampunan pajak, dibatasi periode penemuan data/informasi yaitu 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015.
"Hal ini penting diatur untuk memberi kepastian hukum dan menegaskan sifat lex specialis UU Pengampunan Pajak, karena daluwarsa penetapan pajak menurut UU KUP adalah lima tahun sebelum berakhirnya tahun pajak atau masa pajak," jelasnya.
Untuk penggunaan nilai harta, apabila data dan/atau informasi mengenai harta ditemukan, UU tidak mengatur dasar penilaian harta tersebut sebagai tambahan penghasilan, apakah nilai harta saat diperoleh (harga perolehan) ataukah nilai harta saat ditemukan (nilai pasar).
Hal ini, kata Prastowo, tentu saja akan berpengaruh pada besarnya tambahan penghasilan sebagai dasar pengenaan pajak. Jika tidak diatur lebih lanjut dan memberi rasa keadilan, dikhawatirkan menimbulkan sengketa pajak dan penolakan dari wajib pajak. Diusulkan untuk dapat digunakan harga perolehan untuk memberi keadilan.
Selanjutnya, mengenai besaran sanksi. Sebagaimana diketahui bagi WP yang ikut pengampunan pajak dan ditemukan ada data/informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan, harta tersebut sebagai tambahan penghasilan yang dikenai pajak sesuai UU yang berlaku dan sanksi kenaikan 200%. Hal ini dirasakan kurang adil dan memberatkan, apalagi bagi WP yang tidak ikut pengampunan pajak hanya dikenai sanksi sesuai UU KUP (2% per bulan paling tinggi 48%).
"PP ini dapat mengatur dengan memberi kesempatan WP melakukan pembetulan SPT agar terhindar dari sanksi atau menjamin pengurangan sanksi administrasi menurut Pasal 36 UU KUP," tambahnya.
Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa. Kata Prastowo, Pasal 19 UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diselesaikan melalui gugatan ke pengadilan pajak.
Padahal UU KUP mengatur, sengketa yang bersifat materiil (terkait isi ketetapan), diselesaikan melalui keberatan dan banding. Sengketa materil terkait pelaksanaan UU Pengampunan Pajak seyogianya tetap dapat diselesaikan melalui proses keberatan dan banding di Pengadilan Pajak, demi keselarasan dengan ketentuan lain dan terjaminnya hak-hak wajib pajak.
Sementara, mengenai prioritas pemeriksaan secara teoretis dan normatif Ditjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan terhadap seluruh wajib pajak, namun demi efektivitas pemeriksaan terhadap penciptaan efek jera dan peningkatan penerimaan negara, sebaiknya pemeriksaan diprioritaskan terhadap wajib pajak, baik yang tidak ikut pengampunan pajak maupun yang ikut pengampunan pajak, yang terdapat data akurat (tidak ada dispute) dan selama ini tidak mengindahkan himbauan untuk melakukan pembetulan.
"Diharapkan PP ini akan menciptakan kepastian hukum, menjadi pedoman dalam menjalanan tugas, dan meningkatkan kepatuhan pajak," tutupnya. (mkj/mkj)