Padahal, modal tersebut direncanakan sebagai modal perusahaan untuk bangkit lagi setelah mengalami kerugian sejak tahun 2015. Padahal bila diperhatikan, jarang sekali terlihat ada gerai Sevel yang sepi dari anak nongkrong. Lantas kenapa Sevel bisa rugi?
Salah satu penyebabnya adalah tidak seimbangnya antara beban operasional dan pemasukan yang diterima. Banyaknya pengunjung yang nongkrong tak berarti banyak barang yang laku dibeli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rendahnya belanja anak nongkrong ini membuat perolehan penjualan Sevel ikut tergerus. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang dikutip detikFinance, Jumat (23/6/2017), 7-Eleven hanya mampu mencatat penjualan sebesar Rp 675,3 milliar sepanjang tahun 2016. Angka ini turun 23,8% dibanding tahun 2015.
Di sisi lain, beban operasional perusahaan terus membengkak. Kenaikan biaya operasional terutama dipicu beban biaya listrik dari penggunaan AC, wifi, dan biaya sewa tempat yang harus ditanggung pemilik toko ketika pengunjung memakai fasilitas tersebut.
Belum lagi ada tambahan beban biaya pesangon karyawan sebagai konsekuensi penutupan gerai-gerai Sevel yang performanya buruk. Sepanjang tahun 2016, ada 25 gerai Sevel yang tutup. Sehingga di akhir tahun 2016, jumlah gerai Sevel yang tersisa hanya sebanyak 161 unit. Ditambah penutupan 30 gerai lagi di awal 2017.
Akibat perolehan pendapatan yang tak mampu menutup tingginya beban operasional, menyebabkan Sevel merugi. Bahkan kerugian PT Modern Sevel Indonesia (MSI) sebagai pemegang merek retail Sevel di Indonesia, turut mempengaruhi kinerja keuangan induk perusahaannya yakni PT Modern International (MDRN).
MDRN mencatat rugi mencapai Rp 638,720 miliar sepanjang tahun 2016. Kerugian ini naik lebih dari 10 kali lipat ketimbang kerugian yang dicatatkan pada tahun 2015 yang sebesar Rp 54,768 miliar.
Rugi yang terus membengkak hingga tak diperolehnya suntikan modal tambahan akibat batalnya rencana akuisisi oleh Charoen Pokphand membuat sevel tak punya banyak pilihan selain menutup seluruh gerai miliknya. (dna/mca)