Ada yang mengatakan, Sevel tutup karena tidak punya konsep bisnis yang jelas. Ada pula yang berpendapat, kombinasi antara konsep bisnis tak jelas, tak ada keunikan produk, dan kondisi keuangan memburuk, memicu Sevel bangkrut.
Bukan cuma itu, ada juga yang menyebut intervensi pemerintah membuat bisnis Sevel meredup. Lantas, mengapa bisnis Sevel meredup hingga akhirnya tutup?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"2012 ke sini, bisnis modelnya sudah tak sesuai dengan bisnis model yang awal. Setelah itu menjadi kacau, cost menjadi mahal. Setelah itu ada peraturan pemerintah mengenai alkohol, Akhirnya makin terpuruk kan," kata ujar Rhenald kepada detikFinance, Selasa (27/6/2017).
Menurut Rhenald, Sevel awalnya menerapkan model bisnis tempat anak muda nongkrong. Namun, setelah 2012, konsep itu tak bisa diterapkan.
Kenapa konsep tersebut tak bisa lagi dijalankan?
"Pertama, karena aturannya melarang mereka. Kedua, mereka dilarang menjual bir. Bir itu kan ada turunannya, makanan yang lain ikut semua, seperti snack. Setelah itu, mulailah kekacauan muncul," tutur Rhenald.
Rhenald menambahkan, sikap regulator seperti yang dialami Sevel masih dijumpai di industri lainnya. Oleh sebab itu, ia 'menyentil' regulator mengubah sikap dalam membuat kebijakan bagi pelaku usaha.
"Fokus saya ingin 'menyentil' regulator agar rezim perizinan itu menjadi lebih soft, friendly bagi dunia usaha," tutur Rhenald.
Bisnis model
Pandangan berbeda datang dari Budi Satria Isman. Pengusaha dan pelatih eksekutif ini menilai regulator bukan faktor utama pemicu berakhirnya bisnis Sevel di Indonesia.
Budi merangkum analisis kejatuhan Sevel melalui Smart Business Map yang terdiri 3 komponen yaitu, playing field, market landscape dan operational profitability.
Pertama, lewat parameter playing field, Budi menilai Sevel tidak tegas menentukan model bisnis, Restoran/Kafe atau Convenience Store. Sevel, menurut Budi, menerapkan model bisnis Food Store Destination sejak buka gerai pertama kali di Jakarta pada 2009.
"Bisnis model menurut saya kurang clear maunya bagaimana. Sevel di dunia sebetulnya convenience store, di Indonesia dicoba melakukan inovasi yang menyebabkan biaya per outlet mahal," tutur Budi kepada detikFinance.
Kedua, market landscape. Sevel tidak memiliki sesuatu yang unik sebagai pembeda dengan toko ritel serupa. Menurut Budi, Sevel menawarkan konsep convenience store yang memiliki tempat dan WiFi gratis dengan makanan siap saji yang terbatas menunya. Konsep seperti ini mudah sekali ditiru kompetitor.
Ketiga, operational profitability. Budi menjelaskan, pertumbuhan bisnis Sevel lebih banyak mengandalkan ekspansi gerai. Cara ini membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga mereka mencari dana lewat right issue dan menambah modal lewat pinjaman bank.
Di sisi lain, Sevel juga menambah investasi untuk Central Kitchen dan Fresh Food. Budi mengatakan, Banyak investasi yang mereka lakukan sehingga cash flow menjadi tergerus. Sementara, gerai-gerai yang ekspansif dibuka, tak semuanya menguntungkan.
Sehingga, penjualan per gerai Sevel mulai turun sejak 2014, dan pendapatan per gerai juga menurun.
"Banyak sekali masalah, itu adalah masalah internal, bukan cuma faktor eksternal," ucap Budi.
Yang jelas, penutupan Sevel pada 30 Juni 2017 nanti tinggal menghitung hari. Musibah yang menimpa Sevel diharapkan tak menular ke toko ritel lainnya di Indonesia.
"Mudah-mudahan enggak ada lagi yang kolaps seperti ini," pungkas Budi. (hns/nwk)