Lesunya penjualan ritel jadi sebab umum tutupnya Sevel di Indonesia. Lantas, kenapa hanya Sevel saja yang tutup dari sekian banyak jaringan minimarket lain?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mande, mengungkapkan hanya Sevel yang tak bisa bertahan lantaran biaya operasionalnya yang terbilang lebih mahal dibandingkan gerai minimarket pesaing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena industri ritel 2,5 tahun ini terpuruk. Jadi mereka (Sevel) kena pertama kali, dari dunia ritel yang pertama kali kena itu mereka. Karena mereka harus menyewa, mereka buka franchise seperti peritel lain," kata Roy ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Jaringan yang dimiliki sendiri, ditambah dengan agresifnya bisnis Sevel di awal kemunculannya, membuat mereka harus menanggung beban besar, terutama sewa tempat, saat daya beli mengalami penurunan.
"Mereka harus sewa tempat dan sudah 5 tahun running, sewanya habis dan kurang bagus. Penyewa menaikkan harga dan pendapatan tidak sama dengan biaya, nah ini juga sesuai dengan keterbukaan informasi mereka yang menyatakan keterbatasan sumber daya. Baik SDM dan sumber daya kemitraan, keterbatasan dari itu sehingga mereka tutup," jelas Roy.
"Mereka harus bayar sewa tempat, karena mereka bukan waralaba sendiri, seperti minimarket lain. Sehingga otomatis cost lebih besar dari pendapatan itu yang mereka," pungkasnya.
Dia melanjutkan, larangan penjualan miniman beralkohol (minol) ikut menggerus omset dari Sevel.
"Itu termasuk (minol) salah satu tergerusnya penjualan. Tadinya ada tersedia di rak dan dilarang sehingga ini perlu dideregulasi lagi. Untuk minol kita minta RUU sampai sekarang belum keluar, ritel minta bukan pelarangan," ujarnya. (idr/ang)