CT: Harus Ada Peran Negara untuk Atasi Kesenjangan

CT: Harus Ada Peran Negara untuk Atasi Kesenjangan

Michael Agustinus - detikFinance
Rabu, 12 Jul 2017 17:51 WIB
Foto: Michael Agustinus/detikFinance
Jakarta - Pengusaha nasional Chairul Tanjung hari ini diundang untuk menjadi salah satu pembicara dalam Simposium Nasional MPR RI tentang Ekonomi Pancasila, yang dihadiri oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, dan sejumlah tokoh lainnya.

Pria yang akrab disapa CT ini memulai paparannya dengan menjelaskan kondisi ekonomi Indonesia secara umum. CT mengatakan, perekonomian nasional maju signifikan dalam 15 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi bagus, angka kemiskinan dan pengangguran pun terus turun.

Tapi pertumbuhan ekonomi ini juga diikuti oleh semakin lebarnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Indikatornya adalah rasio gini yang terus naik seiring pertumbuhan ekonomi. Ini adalah salah satu masalah besar yang harus segera diselesaikan agar tidak menjadi bom waktu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dalam 15 tahun terakhir, perekonomian kita relatif lebih maju, kemiskinan dan pengangguran turun, pertumbuhan ekonomi relatif stabil terjaga, tapi gini ratio meningkat. Memang kalau pertumbuhan ekonomi tinggi kecenderungannya gini ratio meningkat," kata CT dalam Simposium Nasional di Gedung MPR RI, Jakarta, Rabu (12/7/2017).

Ia mengungkapkan, rasio gini Indonesia sekarang 0,4, artinya ada 1% penduduk yang mengontrol 40% dari total seluruh pengeluaran masyarakat Indonesia. Potret kesenjangan lainnya tampak dari penguasaan lahan dan rekening bank. Lebih dari separuh aset penduduk Indonesia dikuasai oleh 1% penduduk yang jumlahnya hanya sekitar 2,5 juta orang.

"Kalau gini rasio di pengeluaran 0,4, artinya 1% penduduk kita mengontrol 40% pengeluaran. Namun gini rasio kepemilikan aset itu lebih parah. 1% penduduk kita menguasai 64% lahan. 1,2% penduduk menguasai 80,5% dari total simpanan di bank," ucapnya.

Kesenjangan ini, menurut CT, terjadi karena masyarakat miskin tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang layak. Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM yang buruk sulit bersaing, susah untuk keluar dari rantai kemiskinan.

"Inti permasalahan yang kita hadapi, karena masyarakat miskin tidak bisa mendapat pendidikan dan kesehatan yang baik, kualitas orangnya tidak baik, kalah bersaing, akibatnya jadi miskin lagi," paparnya.

Untuk mendorong pemerataan, harus ada keberpihakan negara, sesuai dengan prinsip Ekonomi Pancasila. Harus ada campur tangan negara untuk mengatasi kemiskinan struktural, orang-orang yang tidak mampu perlu diberi perlindungan.

"Perlu koreksi kebijakan ekonomi, yaitu Ekonomi Pancasila. Tugas negara memberi kesempatan, keberpihakan kepada orang-orang yang kalah supaya tidak jadi orang kalah terus, memberi akses kepada masyarakat utk menentukan pilihan. Tidak boleh negara membiarkan orang kalah makin kalah dan tersungkur," ucapnya.

Bentuk bantuan dari negara untuk orang-orang tidak mampu itu misalnya subsidi. Tapi subsidi harus diberikan secara langsung. Subsidi yang tidak diberikan secara langsung, misalnya subsidi pupuk, subsidi BBM, kerap tidak tepat sasaran, sebagian besar malah dinikmati orang mampu.

"Negara bertanggung jawab memberikan orang yang kalah bersaing itu perlindungan. Bentuknya subsidi, diberikan langsung ke orang yang kalah tadi, tidak boleh diberikan kepada barang. Kalau diberikan ke barang, misalnya subsidi pupuk, lebih banyak yang menerima adalah orang-orang yang tidak berhak menerima subsidi. Harus by name, by address," kata CT.

Akses pendidikan dan kesehatan gratis juga sangat dibutuhkan orang-orang tidak mampu. Dengan mendapat fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, kualitas SDM akan meningkat, jadi lebih berdaya saing. "Selagi orang bodoh dan kurang sehat, pasti kalah," tukas dia.

Selain itu, CT menyarankan perlunya redistribusi aset. Tapi yang diredistribusi ke masyarakat bukan hanya aset secara fisik seperti lahan saja. Akses terhadap informasi, pembiayaan, teknologi, dan pengambilan kebijakan dalam pemerintahan juga penting. Dengan begitu, 'orang kalah' bisa jadi pemenang juga.

"Untuk mengembalikan struktur ekonomi Indonesia menjadi Ekonomi Pancasila, diperlukan redistribusi aset. Tapi bukan hanya tanah, bukan hanya yang secara fisik tapi juga non fisik. Termasuk akses informasi pasar. Misalnya kenapa petani kita miskin? Mereka tidak memperoleh informasi pasar yang baik. Akses terhadap pembiayaan, teknologi, dan akses terhadap pengambilan keputusan. Inilah yang menjadi hal penting," pungkas CT. (mca/hns)

Hide Ads