Bankir Ini Sarankan Pemerintah Tunda Kebijakan Pajak Intip Rekening

Bankir Ini Sarankan Pemerintah Tunda Kebijakan Pajak Intip Rekening

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 18 Jul 2017 18:25 WIB
Foto: Tim Infografis: Fuad Hasim
Jakarta - Peraturan pengganti undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 terkait keterbukaan informasi keuangan dinilai bisa membuat orang tidak nyaman. Mantan Direktur Utama PT Bank CIMB Niaga Tbk Arwin Rasyid menyarankan Perppu tersebut harus ditunda.

"Perppu yang memperbolehkan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk mengintip data nasabah perbankan di atas Rp 1 Miliar perlu ditunda," kata Arwin di Komisi XI, DPR RI, Jakarta, Selasa (18/7/2017).


Dia mengatakan, seharusnya Perppu ini menunggu Undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) dan UU Perbankan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pajak ingin data nasabah silahkan, bisa setiap waktu, tapi jangan 400.000 data diizinkan semua, itu betul-betul membuat orang tidak nyaman," ujarnya.

Dia mengatakan, Indonesia baru saja menyelesaikan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang sangat sukses. "Berilah ketenangan ke masyarakat, kasih waktu dua sampai tiga tahun di mana dalam waktu itu ada edukasi, sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran pajak," imbuh dia.


Arwin menjelaskan, ada yang lebih penting yakni munculnya potensi kegelisahan dalam masyarakat yang menyimpan dananya di perbankan.

"Bahkan dikhawatirkan bisa meningkatkan aktivitas transaksi dasar, tax ratio di Indonesia tergolong rendah dibanding negara lain, negara-negara OECD rata-rata 34%, Indonesia 12% masih rendah ini karena masih tingginya underground economy di Indonesia," ujarnya.

Dia menjelaskan, dalam literatur underground economy adalah seluruh kegiatan ekonomi yang luput dari pajak. Contohnya bisnis narkoba dan pencurian. "Tapi selain itu juga contohnya broker properti rumah, dia jual Rp 1 miliar terus dapat komisi 2% dan dia enggak lapor pajak, itu underground economy," jelas dia.

Dia menyebutkan, faktanya underground economy tidak hanya ada di negara berkembang. Negara seperti di AS 10-20%, Singapura 14%, Hong Kong 14%. Indonesia pada 2013 diperkirakan 38% dari gross domestic product (GDP). "Karena itu kita harus berhati-hati," imbuh dia.

Arwin mengatakan pada dasarnya Perppu Nomor 1 tahun 2017 ini memiliki permasalahan mengenai agenda perpajakan internasional yang menyangkut kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI). Jadi 100 negara semuanya sepakat dengan AEoI tersebut.

"Pada intinya kita di Indonesia terutama kantor pajak bisa mengakses rekening WNI di berbagai negara, tapi untuk akses resiprokal, rekening yang ada di Indonesia juga harus dibuka itu yang kami anggap urgent dan harus bisa segera di penuhi," imbuhnya.

Kemudian, yang harus diperhatikan adalah terkait perpajakan domestik. Dia menyebutkan, data rekening nasabah di atas Rp 1 miliar diberikan berdasarkan permintaan dan tidak otomatis.

"Mengingat ada beberapa kendala yang kita hadapi, karena ada isu kesiapan operasional," jelas dia.

Dia menyebutkan ada sekitar 400.000 rekening individu yang memiliki saldo Rp 1 miliar. Arwin mempertanyakan apakah jumlah rekening tersebut jika masuk ke basis data Ditjen Pajak bisa ditangani atau tidak. (mkj/mkj)

Hide Ads