Namun, ada pihak-pihak lain yang tidak sependapat karena menilai masyarakat Indonesia belum siap jika redenominasi dijalankan dalam waktu dekat.
Menko Perekonomian, Darmin Nasution, membantah anggapan tersebut. Menurutnya, masyarakat sebenarnya tanpa sadar sudah terbiasa melakukan redenominasi untuk mempermudah transaksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Siapa bilang belum siap, orang di warung saja orang, di restoran kecil aja kalau ditanya 'berapa satu porsi? Jawabnya Rp 12, maksudnya Rp 12 ribu," ujar Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (24/7/2017).
Dengan melakukan redenominasi, pencatatan angka-angka transaksi dalam rupiah jadi lebih sederhana. Membuat lebih praktis, mudah dibaca, tidak membingungkan.
"Coba lihat di bank itu angka berderet-deret, berarti berapa Megabyte (MB) perlu ditambah untuk menampung angkanya di dalam IT-nya perbankan? Begitu juga transaksi yang lain. Dengan mengurangi jumlah angka, menurunkan penggunaannya itu besar sekali. Itu akan mendorong efisiensi-efisiensi kegiatan perekonomian," tuturnya.
Darmin menambahkan, redenominasi tidak membutuhkan banyak biaya. Tak perlu mencetak banyak uang baru.
"Ada yang nanya biayanya bagaimana? Biayanya itu tidak signifikan. Karena itu masa transisinya pasti diambil panjang. Pasti 5 sampai 7 tahun. Padahal uang kita itu diganti setiap 5 tahunan," tukasnya.
Baca juga: Mengapa Uang Rp 1.000 Harus Jadi Rp 1? |
Dalam pelaksanaannya nanti, setiap toko akan memasang logo harga dengan bilangan dalam uang rupiah lama dan uang rupiah hasil redenominasi agar tak membingungkan.
"Nah, itu memang harus disertai dengan Undang Undang, bahwa semua toko, semua orang jualan harus pakai Price Tag, pakai harga. Sehingga begitu mulai ada uang baru walaupun uang lama masih berlaku, kalau harga beras di toko beras misalnya Rp 12.000/kg, itu Rp 12 ribu pakai uang lama uang baru. Tidak ada masalah," tutupnya. (mca/mkj)











































