Pemerintah Perlu Bikin Aturan Soal Beras Medium dan Premium

Pemerintah Perlu Bikin Aturan Soal Beras Medium dan Premium

Muhammad Idris - detikFinance
Rabu, 26 Jul 2017 21:16 WIB
Foto: Muhammad Idris/detikFinance
Jakarta - Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Moeldoko, mengatakan seharusnya pemerintah bisa membuat harga acuan yang jelas terkait beras. Dia menyoroti tidak adanya acuan harga pembeda antara beras premium dan beras medium.

Harga acuan beras Rp 9.000/kg, menurutnya, lebih cocok untuk beras medium.

"Untuk beras premium ini belum diatur, siapa yang bermain di area premium ini abu-abu. Bisa saja jual di harga Rp 20.000/kg, Rp 25.000/kg, enggak ada aturannya, tapi beras yang medium diatur Rp 9.000/kg. Tapi itu juga kenyataannya bisa loncat,," kata Moeldoko di kediamannya, Jakarta, Rabu (26/7/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan menetapkan harga acuan beras di konsumen sebesar Rp 9.000/kg. Kebijakan harga beras ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan nomor 47/M-DAG/PER/7/2017. Namun harga acuan tersebut tak membedakan beras medium dan premium yang berbeda kualitas.

Menurut dia, dengan adanya harga acuan untuk beras medium, juga tak serta merta bisa menjadi kewajiban pedagang atau distributor menggunakan harga patokan tersebut. Kasus lainnya, beras medium juga bisa berubah menjadi beras premium jika kualitasnya ditingkatkan.

"Beras medium itu harapannya Rp 9.000/kg, tapi begitu marketnya (permintaan) kuat bisa meloncat menjadi 13.000-14.000/kg. Bisa lagi beras medium itu tingkatkan lagi kualitasnya menjadi beras premium yang sementara ini belum diatur dengan tegas oleh regulasi," terang Moeldoko.

Aturan yang tidak mengatur spesifik dan mengikat ini, kata dia, jadi celah pedagang mengatur harga beras semaunya.

"Jadi ini area bermain, sepanjang pasar menerima, mekanisme pasar berjalan. Akhirnya ada selisih harga yang dihadapi sejauh ini, petani hanya jual segitu saja, tapi begitu jadi beras premium harganya jadi meningkat. Ini persoalan yang perlu ditata dengan baik," ucap Moeldoko.

Subsidi Pupuk

Pada kesempatan tersebut, Moeldoko menyarankan sebaiknya pemerintah mencabut subsidi pupuk dan mengalihkannya pada bentuk subsidi lain, yakni mensubsidi harga pembelian gabah agar harga yang diterima petani bisa lebih tinggi.

"Petani itu butuh pupuk, tapi subsidi itu banyak menguap. Lebih bagus jelas diberikan saja harga saat panen, mungkin (harga gabah) Rp 3.700/kg, jadikan saja Rp 5.000/kg atau Rp 6.000/kg. Itu petani langsung menikmati, tapi sekarang ada subsidi (pupuk), tak semua petani menikmati," kata Moeldoko.

Seperti diketahui, dalam mensubsidi petani padi, Indonesia menganut konsep subsidi input, atau dengan kata lain pemerintah menggelontorkan subsidi untuk pupuk dan benih. Sementara negara lain seperti Thailand dan Vietnam, mengandalkan skema subsidi output atau membayar subsidi untuk setiap beras yang dijual ke pemerintah pasca panen.

"Subsidi diberikan saat petani panen, itu yang namanya subsidi. Subsidi (pupuk) ada Rp 31 triliun, apakah sampai apa tidak. Daripada petani tidak menikmati, mending harga yang diperbaiki saat panen," jelas Moeldoko.

Dia menyebut, subsidi input kurang efektif di terapkan di Indonesia. Selain banyak salah sasaran, pupuk subsidi juga kerap langka saat petani membutuhkan

"Persoalan pupuk, walaupun ada pupuk komersial dan pupuk bersubsidi, warna juga berbeda. Tapi petani kita masih mengalami kesulitan saat butuh, barang itu tapi tidak ada, banyak yang hilang di lapangan," ungkap mantan Panglima TNI ini.

Lanjut dia, dengan pola subsidi output, pemerintah juga tak perlu susah payah dan mengeluarkan anggaran besar untuk pengawasan distribusi di lapangan.

"Kecuali kalau betul-betul subsidi bisa dinikmati 100%, betul itu berjalan mekanismenya enggak perlu ada tentara mengawasinya, tidak perlu polisi mengawasinya. Karena tidak berjalan itulah ada aparat yang diturunkan. Sejatinya enggak perlu," pungkas Moeldoko. (idr/hns)

Hide Ads