Namun, menurut mantan Sekretaris Kementerian BUMN periode 2005-2010, Said Didu, keputusan impor itu terlambat. Selain itu, jumlah yang diimpor sedikit, tak akan mampu mengatasi masalah kelangkaan.
"Kebijakan pemerintah untuk impor garam saat ini adalah tepat walau sangat terlambat dilakukan. Sebenarnya keputusan impor garam sudah bisa diambil minimal 6 bulan sebelum kejadian, karena produksi tahun ini untuk konsumsi tahun depan," ujar Said kepada detikFinance, Senin (31/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Said menjelaskan alasan Indonesia harus impor garam. Total kebutuhan garam kita saat ini sekitar 4 juta ton/tahun. Sebanyak 750.000 ton/tahun kebutuhan untuk konsumsi dan sisanya untuk industri
Sementara, produksi garam lokal sekitar 2 juta ton per tahun. Sekitar 300 ribu ton/tahun dari PT Garam dan sisanya dari rakyat untuk garam konsumsi.
Di sisi lain, Masalah garam ini bukan hanya menyangkut konsumsi, tapi terkait juga dengan kebutuhan industri. Banyak sekali Industri yang butuhkan garam, contohnya industri makanan, tekstil, petrokimia, pulp dan kertas, kulit, hingga pengeboran minyak.
"Kita realistis melihat impor garam, jangan terlalu disalahkan. Realistis saja, kita enggak bisa menghasilkan garam," kata Said.
Ia menambahkan, pemerintah harus mengawasi ketat agar garam industri tak masuk ke pasar dan dikonsumsi.
"Yang perlu dikendalikan adalah impor garam industri tidak merembet ke garam konsumsi, agar harga garam produk petani tidak anjlok. Gunakan instrumen perdagangan biasa untuk impor garam industri dan awasi ketat agar tidak merembet ke konsumsi," pungkas Said. (hns/dna)