Dia bercerita, sejak 1990 ekonomi Indonesia tumbuh tertinggi sepanjang sejarah dengan besaran 7%. Namun, angka rasio gini berada di level 0,34, seiring berjalannya waktu hingga 1997 kembali meningkat menjadi 0,37 atau hanya naik 0,03.
Meski naik sedikit, menurut Bambang, hal tersebut tidak lumrah lantaran tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Peningkatan rasio gini juga diperkirakan ekonomi masih didominasi oleh para konglomerat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ini harus hati-hati menyikapi gini rasio yang rendah itu, jangan bangga dulu soal gini rendah bedanya ini pemerataan kekayaan atau pemerataan kemiskinan, tentunya kita inginkan pemerataan kekayaan," kata Bambang di kantornya, Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Perjalanan jurang si kaya dan si miskin juga terus berkembang, seiring booming-nya harga komoditas seperti batu bara dan sawit yang menjadi primadona ekspor sejak 2006. Namun, memasuki tahun 2011 negara-negara dengan ekonomi kuat, seperti Amerika Serikat (AS) mengguyur likuiditas ke seluruh negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Sehingga, yang terjadi capital inflow dalam jumlah cukup besar, bahkan pertumbuhan ekonomi pada 2011 mencapai 6,5% menjadi tertinggi kedua setelah era 90-an.
Dengan banyaknya likuiditas, harga komoditas semakin tidak terkendali peningkatannya. Namun, kejadian tersebut tidak berlangsung lama, di mana harga komoditas mengalami pelemahan dan rasio gini meningkat menjadi 0,410 terhadap PDB.
"Penurunan gini itu susah, kenaikannya gampang," kata dia.
Lanjut Bambang, terjadi perubahan tingkat gini rasio sejak 2016 ke 2017 yang didorong oleh meningkatnya pengeluaran kelompok menengah dan menurunnya pengeluaran kalangan atas.
"Kesimpulannya penurunan gini pada 2016-2017 karena yang menengah terhadap atas meningkat jadi yang menengah jadi atas, yang bawah naik tapi cukup kecil, jadi yang bawah ini belum terlalu terdorong oleh berbagai program atau kebijakan pemerintah saat ini. Jadi baru yang menengah yang membuat gini rasio turun," ungkapnya.
Kata Bambang, penurunan rasio gini ke depan tidak bisa mengandalkan peningkatan pengeluaran dari kelas menengah saja, melainkan harus dari 40% kalangan bawah.
"Karena kita percaya kalau 40% yang terbawah ini naiknya berarti gini rasio-nya cepat turun dibandingkan kalau hanya mengandalkan berkurangnya gap yang tengah dengan yang atas. Jadi ini kelihatannya simpel, di sinilah kita harus buat kebijakan di 40% ke bawah, karena ada kelompok sangat miskin, miskin, hampir miskin," tutup dia. (mkj/mkj)