Hebat! Di Tangan Wanita Ini, Pangan RI Diekspor ke 4 Benua

Wawancara Khusus

Hebat! Di Tangan Wanita Ini, Pangan RI Diekspor ke 4 Benua

Muhammad Idris - detikFinance
Selasa, 29 Agu 2017 08:04 WIB
Foto: Muhammad Idris
Jakarta - Tak banyak orang tahu, produk pangan lokal kita banyak diburu di pasaran luar negeri. Beberapa pangan lokal dibuat para petani di pedesaan ini bahkan bisa dibilang kurang populer di masyarakat Indonesia sendiri. Namun siapa sangka, pangan-pangan lokal ini punya harga mahal di luar negeri.

Helianti Hilman, lewat perusahaan yang dirintisnya sejak 8 tahun lalu, PT Kampung Kearifan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Javara, mengubah stigma pangan dari pedesaan menjadi komoditas bernilai di tinggi saat diekspor.

Beragam pangan lokal mulai dari kelapa, rempah-rempah, madu, mie dari ubi, gula jawa, sampai garam yang tak banyak dilirik industri besar, jadi produk yang laris manis di luar negeri di tangan Heliati. Sejumlah panganan lokal ini sudah menembus pasar 21 negara di 4 benua.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menariknya, semua pangan lokal yang sudah mendunia itu bukanlah produk pabrikan perusahaannya, melainkan produk lokal yang dikembangkan dan diproduksi sendiri oleh petani yang bermitra dengan perusahaannya di berbagai daerah.

Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Helianti di kantor yang juga jadi tokonya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (28/8/2017).

Apa sebenarnya Javara, dan bagaimana Anda merintisnya?
Javara perusahaan yang punya tagline Indigenous Indonesia, jadi artinya memang kita angkat dari pangan tradisional dan budaya Indonesia. Background saya pendidikan hukum, saya banyak melakukan perjalanan ke pedesaan saat saya bekerja sebagai konsultan di lembaga asing. Saya pikir banyak produk lokal ini yang potensial.

Kita mulai dari beras, kemudian kacang-kacangan, kemudian tepung. Kemudian tambah lagi gula kelapa, kemudian rempah-rempah. Jadi bertahap, kita mulai dari 8 petani dengan 8 produk, sekarang 52 ribu dengan 750-an produk, dan 250 sudah standar organik Jepang dan Eropa. Perusahaan saya rintis 8 tahun lalu.

Hebat! Di Tangan Wanita Ini, Pangan RI Diekspor ke 4 BenuaFoto: Muhammad Idris


Kenapa memilih pangan lokal?
Bisnis ini awalnya tidak didesain as business, karena saya banyak berkenalan dengan jaringan pertanian yang masih berbasiskan kearifan lokal, dan mereka (petani pedesaan) masih pertahankan warisan pangan kuno, kayak beras kuno, dan memang tantangannya mem-branding lagi makanan-makanan ini.

Bagaimana menjadikan pangan lokal jadi komoditas ekspor?
Saya banyak travelling kebetulan. Saya hobi itu masak dan makan. Setiap saya travelling ke luar negeri yang pasti saya datangin itu pasar atau toko-toko yang menjual makanan gormey atau premium, saya lihat oh kalau produk premium kemasannya begini, style kayak begini, jadi kita punya wawasan.

Jadi dari situ kita dapat inspirasi kalau produk premium harus begitu kemasannya, saya sudah ke sekitar 40 negara, jadi sudah punya gambaran, di sisi lain saya punya jaringan pertanian yang masih pelihara dan harta karun keanekaragaman hayati Indonesia.

Saya pikir bagaimana saya jadi terpikir kalau dikemas begini, diolah begini, dilempar ke pasar laris, jadi kami mulai desain kemasan, tapi juga desain konsep produknya, makanya kalau lihat pertama, kita lebih banyak pakai bahasa Inggris dalam kemasan, karena ini jadi bagian dari branding.

Hebat! Di Tangan Wanita Ini, Pangan RI Diekspor ke 4 BenuaFoto: Muhammad Idris


Apa penyebab pangan lokal sulit masuk pasar ekspor?
Sebenarnya isunya bukan di raw material, tapi entepreneurship. Artinya kita punya harta karun sebanyak apa pun kalau tidak ada yang menggali potensi itu, kemudian kelola supaya produksinya bisa memenuhi standar. Lacking di Indonesia hanya entepreneurship-nya.

Ini bicara menajemen produksi, inovasi, standarisasi, sertifikasi, dan lainnya. Jadi kalau punya harta karun tapi enggak ada pengelolaan itu semua tak akan sampai ke pasar. Itu yang membedakan kita dengan negara lain seperti Thailand, karena memang di sana dikelola dan ditargetkan mendunia. Sementara kalau kita yang tradisional begitu ya berpikirnya untuk kita saja di dalam negeri.

Javara bukan perusahaan produsen makanan, kami perusahaan yang melahirkan usaha di tingkat pedesaan, di daerah terpencil, misi kami melahirkan entepreneur. Jadi kami rancang konsep produknya, kemudian inovasi, branding, markering, sertifikasi. Produksinya tetap dari mitra-mitra kami.

Strategi marketing Javara membuat pangan lokal mendunia?
Pertama itu paling mudah dari kemasan, di mana ada cerita proses di balik produk itu ada di kemasan. Kalau lihat di produk-produk kita ada (keterangan) ceritanya, karena itu paling cepat (laku), kemasan bisa menceritakan dia sendiri.

Istilahnya bermain dengan komunitas untuk melakukan consumer education, karena ini produk-produk kita kalau enggak di-educate akan susah. Yang paling efektif yaitu lewat para chef atau koki, baik di dalam maupun luar negeri, kita approach duluan, jadi kalau kita punya barang yang aneh-aneh, kami suka kirim ke mereka duluan.

Kirim ke chef hotel-hotel di Jakarta dan luar negeri. Supaya mereka kasih respons balik, ini (produk) rupanya bisa dibuat ini dibuat itu, jadi peran dari keberadaan chef-chef sangat membantu endorse ingredient produk itu sendiri.

Jadi untuk endorsing ingredient tadi juga kita lakukan banyak demo, workshop, ikut event-event, bikin buku, dan tulisan di media sosial. Jadi memang perlu effort yang harus dilakukan untuk mengedukasi masyarakat.

Hebat! Di Tangan Wanita Ini, Pangan RI Diekspor ke 4 BenuaFoto: Muhammad Idris


Sudah ke berapa negara ekspor?
Sudah 21 negara di 4 benua, tinggal Afrika yang belum, Insya Allah kita akan mulai dengan Afrika Selatan tahun depan.

Pasar paling besar yang sudah digarap?
AS dan Eropa paling dominan, kalau yang lain menyusul kayak Jepang, Australia, dan lainnya.

Itu pengiriman rutin?
Rutin sekali. Berapa ton agak sulit, karena kami ada 750-an produk yang tidak berdasarkan volume.

Bagaimana membangun jaringan pasar pangan lokal di luar negeri?
Jaringan kami macam-macam ya, ada yang suplai langsung ke jaringan supermarket tanpa agen, adapula yang distributor importir. Ada pula yang ke pabrik coklat untuk bahan baku mereka di Belanda dan Ekuador, rupanya mereka suka pakai gula kami buat coklat mereka. Ada pula yang konsorsium yang ordernya bareng-bareng satu kontainer, begitu sampai kontainernya, dibagi-bagi 200 toko.

Apa saja produk yang dijual Javara?
Kalau makanan yang trending sangat kuat adalah coconut based product, jadi produk-produk yang berbasis kelapa, kalau di kami ada gula kelapa, biskuit kelapa, minyak kelapa, selai kelapa, kemudian ada keripik kelapa. Untuk coconut based saja ada 37 produk yang sudah kami kembangkan dan bersertifikasi organik.

Kemudian produk rempah-rempah, Indonesia dulu dijajah juga karena rempah-rempah. Walaupun rempah-rempah ini diproduksi di negara lain, tapi yang namanya produk pertanian atau produk alam, enggak bisa dilepaskan dari ekologinya, jadi misalnya lada Vietnam beda dengan rasanya lada yang ditanam di Bangka dan Lampung yang lebih enak.

Banyak produk yang kita jual kita tekankan karakteristik originalnya, misalnya garam Bali, ada kemiri Flores, ada ikan gabus dari Kalimantan, kita tekankan itu, terutama origin yang sangat pengaruh ke kualitas, karena di tempat lain akan beda rasanya

Produk Javara dari banyak pelosok daerah di Indonesia, bagaimana mengonsolidasikannya?
Javara bukan perusahaan produsen makanan, kita perusahaan yang melahirkan usaha di tingkat pedesaan, di daerah terpencil, misi kita melahirkan entepreneur.

Jadi kami rancang konsep produknya, kemudian inovasi, branding, marketing sertifikasi, kita yang lakukan. Tapi produksinya dari mitra-mitra kami. Ini wilayah operasi kita dari Aceh sampai papua, jadi ada mitra-mitra champion yang kita perkuat. Kalau enggak punya mesin kami belikan mesin, kalau enggak punya kapasitas kami training, kalau enggak punya akses keuangan kami beri fasilitas modal.

Berapa omset Javara saat ini?
Kami tahun lalu Rp 30 miliar, tahun ini target Rp 40 miliar.

Porsi penjualan ekspor Javara saat ini?
Kalau suruh memilih saya sebenarnya lebih ke domestik, margin bisa besar karena mata rantai pendek dan distribusi mudah, kami mulai ekspor 2011 waktu itu komposisi ekspor 20% dan 80% domestik, ternyata growing ekspor 2014 itu tinggi sehingga membalik ekspor menjadi 90%, dan 10% domestik.

Tapi kami mulai gencar nih domestik, kami tertolong ada online seperti ojek online. Jadi kami sangat terbantu sekali dengan online untuk penjualan domestik. Mereka datang ke toko saya sekali saja, order berikutnya dikirim via ojek online. Sekarang domestik sudah naik jadi 40%, kami kan juga banyak suplai ke supermarket yang premium di dalam negeri, sisanya 60% ekspor. (idr/wdl)

Hide Ads