Aturan Baru DJP Gali Potensi Pajak Luar Negeri

Aturan Baru DJP Gali Potensi Pajak Luar Negeri

Hendra Kusuma - detikFinance
Senin, 04 Sep 2017 21:29 WIB
Foto: Tim Infografis, Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan telah menyempurnakan aturan terkait dengan praktik penghindaran pajak internasional dengan metode pengalihan pendapatan ke perusahaan di luar negeri atau kerap disebut profit shifting.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak P.M. John L. Hutagaol mengatakan, aturan baru tersebut tertuang dalam PMK Nomor 107 Tahun 2017 tentang Controlled Foreign Company (CFC).

John menjelaskan, PMK 107/2017 menutup seluruh celah penghindaran pajak melalui pengalihan penghasilan, yang selama ini menjadi kelemahan PMK Nomor 256 Tahun 2008.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di PMK 107, kita menerapkan anti pragmatici, karena masalah memecah-mecah saham itu salah satu kelemahan dari PMK 256, membagi dividen, sehingga tidak terkena peraturan CFC," ungkap dia di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (4/9/2017).

Dia melanjutkan, PMK 107/2017 juga tidak akan memberikan dampak buruk bagi perekonomian, melainkan menjadi disinsentif bagi para pengusaha yang telah melakukan penghindaran pajak.

"tidak ada kaitannya dengan ekonomi, ini akan jadi disinsentif bagi penghindar pajak, ini akan memberikan insentif bagi ekonomi," jelas dia.

Sementara, Kepala Seksi Perjanjian dan Kerja Sama Perpajakan Internasional II, Ahmad Sadiw Urwah mengatakan, PMK 256/2008 dianggap lemah karena masih bisa melakukan penghindaran pajak dengan mengatur pembagian dividen yang nilainya tidak material, lalu mendirikan perusahaan perantara, dan memecah penyertaan modal (kepemilikan) antara anggota grup perusahaan atau antara perusahaan afiliasi.

"Kelemahan kedua, hanya apply satu layer saja, ini kita perjelas, ketentuan CFC ini lebih dari satu layer sepanjang itu memiliki kriteria dikendalikan, batasan 50% itu wajib pajak bisa lakukan tax planing, intinya kepemilikan dipecah-pecah dan di aturan yang baru ini agak sulit memecah besaran kepemilikan, kemudian di samping adanya PMK sebelumnya, perubahan PMK ini di dasari rekomendasi final rerport BEPS action plan 3, ini proyek yang di inisiasi oleh G20 kepada OECD untuk masalah penghindaran dan penggelapan pajak," kata Sadiq.

Pokok-pokok perubahan aturan yang tertuang dalam PMK Nomor 107/2017 adalah terkait dengan kepemilikan langsung dan tidak langsung, lalu adopsi istilah DCF menjadi badan usaha luar negeri non bursa terkendali, pengaturan saat diperolehnya deemed dividen, pengaturan perhitungan besarnya deemed dividen, pengaturan penghitungan kredit pajak luar negeri atau foreign tax credit.

"Berbagai cara itu dilakukan dengan mengatur pembagian dividen yang nilainya tidak material, mendirikan perusahaan perantara, memecah penyertaan modal," tambah dia.

PMK 107/2017, kata Sadiq, sebagai bentuk komitmen Indonesia sebagai anggota inclusive framework on BEPS dalam menerapkan BEPS action plan 3 terkait CFC. Serta, salah satu quick win Q2 tahun 2017 dalam kelompok kerja bidang peraturan dan perundangan tim reformasi perpajakan.

Kendati demikian, lanjut Sadiq, diharapkan PMK 107/2017 ini mampu menurunkan risiko penghindaran pajak melalui pengalihan penghasilan ke anak perusahaan yang berada di negara-negara surga pajak.

"Output yang diharapkan, mengurangi risiko, atau memberikan disinsentif bagi wajib pajak yang memindahkan labanya ke luar negeri, PMK ini bisa menangani praktik ini, tujuan terakhir adanya penerimaan baru dari deemed dividen ini," tukas Sadiq. (dna/dna)

Hide Ads