Dalam surat tersebut tertera berbagai persoalan yang dialami oleh PLN. Terutama soal utang dan program 35.000 MW yang dianggap bisa menjadi risiko keuangan negara.
Tapi kenapa Sri Mulyani tampak begitu khawatir?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada saat yang sama, PLN selaku BUMN pelaksana tugas harus berkutat dengan persoalan keuangan.
Laporan keuangan PLN per 30 September 2014, total utang mencapai Rp 471 triliun. Dengan rincian utang bank dan surat utang jangka panjang mencapai Rp 70,7 triliun, naik 6,42% dari periode yang sama tahun lalu Rp 66,4 triliun. Utang obligasi tercatat naik tipis menjadi Rp 81,2 triliun, dari Rp 81 triliun.
Jokowi sempat memanggil Direktur Utama PLN Sofyan Basir ke Istana Negara pada Juli 2015, untuk memastikan kondisi keuangan PLN. Sofyan waktu itu menjelaskan bahwa dari jumlah itu, ada utang dari Independent Power Producer (IPP) atau pembangkit listrik swasta, yang masuk ke dalam pencatatan keuangan PLN. Sehingga bila dipisahkan maka tak ada persoalan utang.
Program berjalan, namun posisi PLN tak begitu kuat di mata investor. Upaya penarikan utang sangat terbatas. Untuk itu, pada Septermber 2016, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan 130/PMK.08/2016 tentang tata cara pelaksanaan pemberian jaminan pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Artinya ketika nanti PLN mendapatkan pinjaman dari lenders (pemberi pinjaman), maka pinjaman tersebut akan ditanggung oleh pemerintah ketika PLN di kemudian hari tidak bisa melunasi pinjaman tersebut. Kewajiban meliputi pokok dan bunga pinjaman yang telah jatuh tempo beserta biaya-biaya lain yang timbul berdasarkan pinjaman.
Jenis proyek yang dijamin meliputi keseluruhan yang terkait dengan pembangunan pembangkit listrik dan transmisi serta yang terkait lainnya. Periode penjaminan adalah sejak tanggal penerbitan jaminan sampai seluruh kewajiban terpenuhi.
Pemerintah juga memberikan jaminan kelayakan usaha atas kerjasama PLN melalui anak perusahaannya dan Perusahaan Penyedia Listrik (PPL) untuk memastikan kemampuan finansial dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL). Meliputi kewajiban pembayaran pembelian listrik. Jaminan tersebut bersifat garansi.
Utang kemudian mengalir deras kepada PLN. Pembangunan juga terus berjalan. PLN terus melakukan kontrak dengan swasta agar program yang dicanangkan pemerintah bisa terwujud. Sampai akhirnya Sri Mulyani mengirimkan surat peringatan.
"Menurut saya beberapa hal yang menyebabkan ada risiko potensi default antara lain, pertama kondisi keuangan PLN yg memburuk. Kedua, kerugian nilai tukar karena sebagian besar kewajiban/utang dalam denominasi dollar AS tapi pendapatan dalam denominasi rupiah," kata Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede kepada detikFinance, Rabu (27/9/2017).
Josua menjelaskan, persoalan lainnya adalah suku bunga pinjaman yang mengambang alias floating. Sehingga beban pembayaran bunga meningkat sewaktu-waktu. Ini adalah risiko besar bagi pemerintah selaku penjamin.
"Kalau kita refer profil utang pemerintah pusat, pembayaran cicilan pokok utang PLN sampai dengan Juli 2017 mencapai Rp 35 triliun dan ke depannya berpotensi juga meningkatkan pinjaman luar negeri pemerintah. Kondisi inilah yang perlu diwaspadai karena dapat mengganggu kesinambungan fiskal," jelasnya. (mkj/ang)