Bagi mereka yang menolak, pandangan yang paling mengemuka, adalah pemerintah tidak mendukung penyediaan transportasi berbiaya murah bagi masyarakat.
Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, murahnya tarif taksi online yang diterima masyarakat sebenarnya perlu mendapat perhatian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada sektor swasta, sambung dia, tarif murah bisa diterapkan dengan cara memberikan subsidi yang sumbernya dari modal yang ditanamkan investor pada perusahaan aplikasi. Dengan kata lain, perusahaan aplikasi taksi online bisa memberikan tarif murah dari cara 'bakar uang' dari investor.
Sejauh ini, seharusnya tak ada masalah. Namun bila diikuti lebih jauh, subsidi yang diberikan akan memberikan konsekuensi bagi kinerja perusahaan aplikasi transportasi online itu sendiri.
Pada satu titik, investor akan kehabisan uang dan mulai meminta keuntungan dari dana yang sudah diinvestasikan. Cara yang paling mungkin ditempuh adalah dengan menaikkan tarif.
Celakanya, pada titik yang sama, taksi konvensional telah mati lantaran kalah bersaing dengan tarif murah taksi online yang 'disubsidi' tadi.
Baca juga: Rincian Aturan Baru Taksi Online |
Maka perusahaan aplikasi taksi online punya keleluasaan menetapkan tarif yang diinginkan karena tak ada lagi pesaing dalam industri pertaksian.
Kondisi ini tentu bisa merugikan bagi masyarakat pengguna angkutan. Karena akan dibebankan dengan biaya tinggi namun tak memiliki alternatif lantaran taksi konvensionalnya sudah mati.
"Ini bahayanya, kalau yang resmi mati, mereka (taksi online) seenaknya menetapkan tarif. Karena toh masyarakat butuh dan mereka (masyarakat) enggak punya pilihan karena taksi konvensionalnya sudah enggak ada. Itu lah yang kita khawatirkan, apa yang namanya predatory business," tandas dia.