Tentang Anjloknya Ritel dan Isi Kantong Orang RI

Tentang Anjloknya Ritel dan Isi Kantong Orang RI

Erwin Dariyanto - detikFinance
Jumat, 03 Nov 2017 10:49 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Yongky Suryo Susilo, Executive Director The Nielsen Indonesia tak bisa memungkiri bahwa saat ini pasar ritel tengah lesu.
Biasanya pertumbuhan penjualan ritel setiap tahun mencapai Rp 49 triliun, atau sekitar 10-11%. Namun di tahun 2017 hingga akhir kuartal III, penjualan ritel hanya tumbuh 2,7 persen atau sekitar Rp 12 triliun.

Namun Yongki berharap di kuartal IV tahun ini yakni Oktober, November dan Desember pertumbuhan ritel akan naik lagi. Ini karena pemerintah sudah mulai gencar membelanjakan anggaran 2017. Kenaikan pertumbuhan ritel itu diprediksi akan berlanjut hingga 2018.

"September ini pemerintah saya dengar goverment spending mulai lancar, ini impact-nya di kuartal IV mudah-mudahan pertumbuhan ritel akan naik," kata Yongki saat berbincang dengan detikFinance, Kamis (2/11/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tentang Anjloknya Ritel dan Kantong Kering Masyarakat Kelas MenengahFoto: Dok. Nielsen

Bahkan Yongky yakin tahun depan pertumbuhan penjualan ritel akan bagus. Dia juga berharap sejumlah pengusaha ritel akan kembali membuka tokonya yang pernah ditutup pada 2017 atau 2016 lalu. Lebih lanjut dia menyebut bahwa ada dua penyebab lesunya pertumbuhan ritel saat ini.


Pertama, pendapatan kalangan menengah ke bawah tetap atau kalaupun ada kenaikan sangat sedikit. Sementara harga kebutuhan hidup terus meningkat. Memang inflasi hanya sekitar 3%. Namun untuk membandingkan harga itu harus dilihat peristiwa yang terjadi pada 3 tahun lalu.

Pada 2014 terjadi kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok akibat naiknya tarif dasar listrik, elpiji dan harga makanan. "Kalau harga sudah naik kan nggak bisa turun," papar Yongki.

Pada tiga tahun yang lalu, kata Yongky, pekerja di Jakarta masih bisa makan siang dengan harga Rp 15.000 atau Rp 20.000. Namun kini butuh setidaknya Rp 30.000 untuk sekali makan. Akibatnya menurut survei Nielsen, banyak pekerja yang membawa makanan sendiri dari rumah. Kalangan menengah ke bawah juga mengerem pengeluaran.

Tentang Anjloknya Ritel dan Kantong Kering Masyarakat Kelas MenengahFoto: Dok. Nielsen


Penyebab kedua, kalangan menengah atas yang sebenarnya daya belinya tinggi juga mengerem belanja. Mereka takut untuk membeli ruko, properti dan lainnya lantaran khawatir dikenai pajak yang tinggi.

Karenanya Nielsen meminta pemerintah memberikan jaminan iklim bisnis yang kondusif agar para pengusaha ini bisa agresif berekspansi. Dengan begitu pengusaha akan memiliki cukup anggaran untuk meningkatkan pendapatan pegawainya yang akan berpengaruh pada daya beli masyarakat menengah bawah.

"Kami minta pengusaha lebih berani (berekspansi), pemerintah memberikan jaminan," kata Yongky.


Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga menyebut bahwa kondisi ekonomi Indonesia akhir tahun ini dan tahun depan akan jauh lebih baik. Secara umum ekonomi Indonesa baik.

Hal Ini dikatakan JK dalam sambutannya pada acara Prospek Ekonomi Indonesia 2018 di hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2018).

"Akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018 sekarang ini situasinya jauh lebuh baik. Walaupun dunia punya banyak masalah seperti di Timur Tengah, Korea Utara , secara umum baik dari sisi ekonomi," kata JK.


Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini tengah menyiapkan satu kebijakan yang tujuannya mendorong daya beli masyarakat, khususnya di kelas bawah dengan memanfaatkan alokasi dana desa. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) untuk membuat proyek padat karya yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, atau disebut juga dengan padat karya cash.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati alokasi dana desa tahun ini besarnya mencapai Rp 60 triliun dan bisa langsung dinikmati oleh masyarakat.

"Bapak presiden meminta penggunaan dana desa sebesar Rp 60 triliun lebih digunakan untuk menciptakan kesempatan kerja yang langsung bisa dinikmati oleh masyarakat dari sisi kompensasinya," kata Sri Mulyani di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (31/10/2017).


Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan adanya program ini akan meningkatkan daya beli masyarakat dibandingkan memberikan bantuan langsung tunai (BLT). Dengan demikian, masyarakat tidak hanya mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup, melainkan pekerjaan yang bisa memberikan manfaat jangka panjang. (erd/mkj)

Hide Ads