Herlina-Hendro, dari Auditor Jadi Pengeskpor Mebel

Laporan dari Tokyo

Herlina-Hendro, dari Auditor Jadi Pengeskpor Mebel

Sudrajat - detikFinance
Kamis, 07 Des 2017 10:11 WIB
Foto: Sudrajat
Tokyo - Lama bekerja di perusahaan asing tak membuat Sri Herlina kehilangan rasa nasionalismenya. Selepas kuliah bidang akuntansi di Universitas Indonesia pada 2003, dia bekerja di lembaga auditor terkemuka Price Waterhouse Cooper (PWC). Dari situ dia berturut-turut bekerja di perusahaan investasi asing milik Jerman dan Belgia yang bergerak di bidang ekspor-impor kayu dan mebel dari Indonesia.

"Ketertarikan awal terhadap bisnis mebel sebetulnya saat mendapat tugas mengaudit PMA (penanaman modal asing) bidang mebel di Semarang," kata Herlina memulai kisahnya sebagai eskportir mebel dari Jepara ke manca negara. DetikFinance berjumpa dengan alumnus Akuntansi UI itu di sela-sela acara Forum Bisnis Indonesia–Jepang di Tokyo, 29 November 2017. Ia hadir bersama suaminya, Hendro Widiarso.

Pengetahuannya seputar industri mebel, dia melanjutkan, bertambah ketika hijrah ke perusahaan Jerman dan Belgia. Dia diam-diam banyak belajar soal pemasaran mebel di dunia internasional hingga desain produk yang sedang tren. Tapi seiring dengan itu, batinnya mulai galau. Negerinya begitu kaya dengan hasil hutan, punya banyak sentra perajin furnitur, tapi kenapa yang menjual ke manca negara justru orang-orang asing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Herlina-Hendro, dari Auditor Jadi Pengeskpor Mebel Foto: Istimewa


Kegalauan serupa rupanya juga dialami sang suami. Hingga pada 2013, keduanya sepakat hijrah dari 'orang gajian' menjadi orang yang menggaji dan memberdayakan orang lain. Keduanya mendirikan perusahaan bidang ekspor mebel dari Jepada dengan nama Green Riverina, singkatan dari Green River Indonesia. Herlina menjadi direktur pemasaran, dan Hendro sebagai Managing Director Green Riverina.

"Sungai adalah sumber kehidupan yang berguna bagi masyarakat sekitar dan kami menjadikan itu sebagai filosofi perusahaan agar perusahaan dapat berguna bagi masyarakat sekitar dan memberikan kontribusi untuk Indonesia pada umumnya," papar Hendro.

Tak langsung berjalan mulus tentu saja. Modal menjadi salah satu kendala utama. Belum lagi ada semacam jetleg di antara keduanya. Maklum, mereka biasa menerima gaji tiap bulan lalu harus kehilangan itu semua, bahkan harus mengeluarkan uang untuk operasional perusahaan. "Jujur saja, modal utama kami ya tekad saja. Aset masih '0' rupiah karena masih mencicil semua," cetus Herlina.

Herlina-Hendro, dari Auditor Jadi Pengeskpor Mebel Foto: Istimewa


Tapi dengan itikad baik dan kerja keras, perempuan kelahiran Jakarta, 16 Februari 1979, itu bersama sang suami berhasil meyakinkan pembeli untuk memberikan uang muka minimal 30 persen dari nilai pembelian. Tetapi ketika beberapa negara menerapkan system LC, mau tak mau Herlina dan Hendro harus mencari bantuan modal dari perbankan. "Dengan pinajaman modal dari Bank, kami selanjutkan berkonsentrasi untuk membuka pasar lebih luas," ujar Herlina.

Untuk itu, Green Riverina mendapatkan bantuan dari Kementrian Perdagangan antara lain fasilitas untuk mengikuti pameran furnitur internasional di Jakarta pada 2014. Di situ untuk pertama kalinya mendapatkan pembeli dari Yunani, Jerman, dan Australia. "Wah, senang banget dan bikin percaya diri," ujar Herlina.

Herlina-Hendro, dari Auditor Jadi Pengeskpor Mebel Foto: Istimewa


Tahun berikutnya pemerintah mengajak untuk berpameran di Spoga-Koln, Jerman yang difasilitasi oleh SIPPO (Swiss Import Promotion Programme). Pameran ini diikuti berbagai perusahaan besar manca negara juga perusahaan kecil dan menengah (UKM). Tapi penyelenggara tak membedakan mereka semua, sehingga di mata para consumer yang datang semuanya setara.

"Pameran itu tak ada kasta-kasta seperti di kita, sehingga pengunjung tak dibuat silau oleh brand besar tapi benar-benar melihat desain dan kualitas produknya," imbuh Hendro.

Kelebihan lain yang diberikan oleh SIPPO, ia melanjutkan, adalah pelatihan singkat kepada para peserta dari kalangan UKM. Mereka diajari seluk-beluk marketing seperti cara melakukan presentasi, melayani konsumen dan mitra bisnis, tren bisnis suatu produk, hingga soal hak paten yang berlaku di banyak negara Eropa.

"Meski cuma 4-5 jam, pelatihan praktis semacam itu sangat bermanfaat bagi pebisnis baru seperti kami saat itu," kata Herlina yang diamini Hendro.

Hal lain yang sangat diperhatikan Green Riverina di bawah kendali suami-istri itu adalah sertifikasi dari lembaga terkait yang kredibel. Hal ini mutlak dipenuhi agar produk mereka bisa menembus pasar Eropa. Setidaknya ada tiga sertifikat yang telah dimilikinya, yakni SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu),

BSCI (Business Social Compliance Initiative), serta FSC (Forest Stewardship Council).

"Sertifikasi FSC menitikberatkan apakah produk yang kami buat itu memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan para pekerja, juga lingkungan sosial sekitarnya. Ada tim yang meneliti tingkat kebisingan, debu, dan kualitas air warga sekitar apakah terganggu atau tidak," papar Herlina.

Saat ini sebanyak 80-100 perajin bekerja untuk kepentingan Green Riverina. Setiap bulan perusahaan itu mengirim 5-6 kontainer ke beberapa negara di Eropa dan Timur Tengah. "Ya masih tergolong kecil lah, nilainya Rp 10-an miliar," ujar Herlina.

Karena itu dia merasa belum puas dan ingin terus membuka pasar baru, antara lain Jepang. Kebetulan saat masih SMA dia pernah mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar pada 1996/1997 di 'Negeri Sakura' itu.

Dalam pertemuan di forum bisnis pekan lalu, mereka berkesempatan menjajaki kerja sama dengan dua perusahaan calon mitra. Salah satunya ingin agar desain dan ukuran produk disesuaikan dengan kondisi Jepang. "Dia lebih tertarik ke produk indoor sih, seperti laci-laci untuk kabinet dengan ukuran yang tak sebesar untuk Eropa," ujar Herlina. (jat/wdl)

Hide Ads