Dia mengibaratkan, pedagang air mineral adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Setiap KKKS memiliki 'harga' berbeda dari setiap produk yang ditawarkan.
Aturan mengenai gross split diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017. Aturan ini menggantikan aturan lama yaitu Permen ESDM Nomor 52 Tahun 2017.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penetapan biaya antara KKKS dan SKK Migas inilah yang menurutnya selalu diperdebatkan. Tarik menarik aturan baru ini, kata Arcandra, memakan waktu yang tidak sebentar.
"Berapa lama tarik-menarik di SKK? Tahunan," sambung Arcandra.
Penggunaan skema gross split, lanjut Arcandra, menuntut efisiensi bagi KKKS. Semakin besar biaya operasi yang dikeluarkan, maka semakin kecil juga keuntungan yang didapatkan KKKS.
Dengan bagi hasil di awal tanpa pengurangan beban cost recovery, penerimaan negara juga lebih pasti. Di sisi lain, biaya yang timbul inefisiensi operasional KKKS juga tak bisa dialihkan ke negara.
"Kalau ke Bali biaya sendiri (gross split) pilih ynag mana? Naik pesawat murah. Karena merasa ini adalah duit sendiri. Kalau enggak perlu naik first class (cost recovery) kenapa naik first class. Apalagi ini first class ditambah 17%," tutur Arcandra.
Sistem cost recovery adalah biaya yang dikeluarkan kontraktor untuk memproduksi migas dan harus diganti oleh negara. Bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) misalnya adalah 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor (85:15).
Akan tetapi, persentase negara bisa berkurang ditambah beban-beban produksi migas yang membengkak, apalagi jika KKKS tidak efisien.
Dengan menggunakan gross split, bagi hasil antara negara dan kontraktor tergantung kondisi lapangannya. Negara tidak menanggung biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas, seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. (ara/ang)