Masing-masing pihak memiliki persepsi. Misalnya Bank Indonesia dan pemerintah, mereka kompak menyebut kondisi ini sekadar karena dolar AS yang menguat. Namun jika dikulik lebih dalam, ekonom menilai ini lebih merupakan pelemahan mata uang Rupiah.
"Nah kalau saya tetap beranggapan ini Rupiah yang melemah karena tidak semua negara (mata uangnya melemah terhadap dolar AS)," kata Pengamat Ekonomi dari Institute Development for Economics and Finance (Indef) Eko Listianto kepada detikFinance, Jakarta, Senin (12/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan memang bukan Indonesia saja yang mata uangnya melemah. Negara-negara lain, khususnya emerging market atau negara yang ekonominya sedang bertumbuh juga mengalami pelemahan mata uang. Hanya saja, menurut dia tidak separah Indonesia.
"Itu menggambarkan memang semua emerging market pasti kena dampak soal pelemahan, cuma kita kok cukup dalam dibandingkan negara lain," ujarnya.
Lebih dalamnya pelemahan rupiah terhadap dolar ketimbang mata uang lain, menurut Eko, bisa menjadi indikasi lebih rendahnya kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia ketimbang negara lainnya.
Baca juga: Dolar AS Masih di Kisaran Rp 13.770 |
Rendahnya kepercayaan investor membuat mereka cepat mengambil keputusan untuk menarik dananya dari Indonesia ketika terjadi gejolak.
"Itu berarti level confidence (kepercayaan) daripada investor di kita relatif lebih rendah. Nah dengan demikian sebetulnya ada faktor fundamental ekonomi kita yang tidak beres. Artinya tidak bisa menahan pelemahan ini, dan itu mengkonfirmasi sebenarnya ini yang terjadi adalah depresiasi (pelemahan) rupiah ya," sambungnya.
Menurutnya, ada risiko yang saat ini belum bisa dibaca oleh Indonesia sehingga asing menarik investasinya dari dalam negeri dan memperparah pelemahan Rupiah. Alhasil dia lebih menilai kondisi yang terjadi saat ini adalah pelemahan Rupiah ketimbang menguatnya dolar AS.
"Sebenarnya indikator makronya cukup kuat ya, investment grade ada, terus ease of doing business meningkat, berbagai macam lah indikator-indikator itu bagus. Tapi nggak mampu mengikat investor di mata uang untuk stay di kita. Berarti mereka membaca ada peluang-peluang atau risiko-risiko yang belum kita antisipasi," tambahnya. (dna/dna)