Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menjelaskan, sepanjang 2018 rupiah terdepresiasi atau nilainya merosot terhadap dolar AS sebesar 1,5%. Padahal berdasarkan data BI tahun 2017 nilai rupiah sempat masuk dalam kategori mata uang yang kuat karena hanya terdepresiasi 0,71%.
Kemudian pada 2016 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terapresiasi atau nilainya menguat 2,25%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari data Jakarta Interspot Dolar Rate (Jisdor) nilai tukar rupiah tercatat Rp 13.757 per dolar AS. Mengutip Reuters hari ini, nilai India rupee sejak 8 Maret 2018 tercatat mengalami tekanan terhadap dolar AS yakni 65,14 per dollar AS, kemudian 9 Maret 2018 tercatat 65,19 per dollar AS. Hari ini (13/3) rupee tercatat 64,86 per dollar AS.
Untuk Filipina peso tercatat mengalami pelemahan sejak Februari 2018. Dari data Reuters nilai peso tercatat 51,03 per dollar AS. Kemudian masuk ke Maret tercatat 51,83 per dollar AS dan hari ini (13/3) tercatat 51,99 per dollar AS.
"Kalau sekarang rupiahnya terdepresiasi 1,5% ini masih lebih baik dari kondisi Filipina atau India, kita juga melihat bahwa negara lain untuk membandingkan Indonesia," kata Agus di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (13/3/2018).
Dia menjelaskan, dalam pelemahan nilai tukar yang harus diperhatikan adalah kondisi dari transaksi berjalan sebuah negara. Negara yang mengalami surplus transaksi berjalan memiliki kekuatan lebih dibandingkan negara yang transaksi berjalannya defisit seperti Indonesia.
Sekedar informasi, data BI menyebutkan defisit transaksi berjalan Indonesia kuartal IV-2017 tercatat US$ 5,8 miliar atau 2,2% dari produk domestik bruto (PDB).
"Seperti India dan Indonesia transaksi berjalannya defisit, sehingga ada tekanan. Tapi ini semua masih mencerminkan fundamental dari nilai rupiah kita," ujar dia.
Baca juga: Rupiah Melemah Karena Ekonomi AS, Kok Bisa? |
Agus menjelaskan, saat ini nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp 13.760 per dolar AS. Namun beberapa hari lalu masih di kisaran Rp 13.790 per dolar AS.
Agus menjelaskan, kondisi tekanan terhadap rupiah ini masih akan terjadi hingga rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pada 22 Maret 2018 mendatang.
"Kondisi ini masih akan berjalan sampai 22 Maret, karena saat itu FOMC meeting dan mereka kemungkinan besar akan menaikkan Fed fund rate (FFR)," ujar dia.
Meskipun ada pelemahan rupiah, Agus meyakini surat utang yang diterbitkan dalam rupiah dan diterbitkan di luar negeri masih akan tetap menarik untuk investor, karena yield yang diberikan juga cukup bersaing dengan yield atau imbal hasil seperti surat utang negara lain.
Baca juga: Dolar AS Menguat atau Rupiah Melemah? |
Agus mengungkapkan, BI tidak mempermasalahkan jika ada penurunan cadangan devisa (cadev) akibat intervensi untuk stabilisasi nilai tukar.
"Tidak apa-apa cadev pernah US$ 132 miliar, itu untuk memperkuat dan berjaga-jaga jika ada tekanan. Cadev itu salah satu instrumen untuk menjaga ekonomi Indonesia, namun nilai tukar yang fleksibel merupakan cara agar ekonomi kita tetap stabil," ujar dia. (ara/ara)