Jumlah utang pemerintah Indonesia hingga akhir Januari 2018 lalu tercatat mencapai Rp 3.958,7 triliun. Hal ini menyebabkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau government-debt ratio (GDR) menyentuh angka 29,2%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang ada yang mengatakan utang meningkat secara nominal disebutkan mendekati Rp 4.000 triliun, Indonesia sudah akan runtuh. Padahal kalau bandingkan utang, secara nominal tertinggi seperti Jepang dan Amerika," kata Sri Mulyani dalam acara Dialog Nasional 8 bertema Indonesia Maju, di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Minggu (11/3/2018).
Benarkah demikian?
Ekonom senior dari Perbanas Institue Dradjad H Wibowo mengakui Jepang memiliki GDR tertinggi di antara negara-negara anggota G20. GDR Jepang 2017 mencapai 250,4%. Utang pemerintah Amerika Serikat per Januari 2018 juga mencapai US$ 19.947 miliar jauh melampuai PDB mereka.
Menurut Dradjad meski pinjaman Jepang dan AS jauh berada di atas PDB, namun utang mereka tergolong aman. Ada dua faktor yang menyebabkan. Pertama rasio penerimaan pajak mereka terhadap PDB (rasio pajak) tinggi. Rasio pajak Jepang sekitar 36% dan AS 26%
Faktor kedua, investor dunia memiliki kepercayaan yang sangat tinggi kepada kedua negara ini. Sehingga investor dunia pun cenderung terus membeli surat utang baru mereka. Padahal, bunga surat utang mereka relatif sangat rendah
"Jadi, rasio utang pemerintah Jepang dan Amerika Serikat aman karena penerimaan pajaknya tinggi dan mereka dipercaya investor," kata Dradjad saat berbincang dengan detikFinance, Rabu (14/3/2018).
Sementara di Indonesia, rasio pajak selama ini terus berkutat di level 11-12%. Angka ini yang terendah di antara negara anggota G20, bahkan tergolong rendah di dunia. Padahal, pajak penghasilan di Indonesia tergolong tinggi di dunia dan lumayan memberatkan bagi perusahaan mau pun orang pribadi.
"Artinya, penghasilan pemerintah sendiri dalam membayar utang itu sangat rendah untuk ukuran dunia. Mau tidak mau, Indonesia harus mengandalkan investor membeli surat utang baru," papar Dradjad.
Di situ lah, kata Dradjad letak masalahnya. Tahun 2017 misalnya, realisasi penerimaan negara pajak dan bukan pajak itu Rp 1.660 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 31% habis untuk membayar pokok dan jumlah utang. Jumlah yang tak sedikit. (dna/dna)