-
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang pemerintah hingga akhir Februari 2018 Rp 4.034,80 triliun, tumbuh 13,46% dibanding periode yang sama di 2017.
Dari Rp 4.034,80 triliun tersebut, terbagi dalam pinjaman luar negeri Rp 771,76 triliun, pinjaman bilateral Rp 331,24 triliun, pinjaman multilateral Rp 396,02 triliun, pinjaman komersial Rp 43,32 triliun dan pinjaman
Rp 1,17 triliun.
Sementara pinjaman dalam negeri tercatat sebesar Rp 5,78 triliun. Di sisi lain, tercatat juga utang dalam bentuk surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 3.257,26 triliun yang terdiri dari SBN dalam denominasi rupiah sebesar Rp 2.359,47 triliun dan Rp 897,78 triliun.
Catatan total utang tersebut setara dengan 29,24% terhadap PDB.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan cara pemerintah menjaga utang tetap aman. Total utang pemerintah Indonesia hingga akhir Februari 2018 Rp 4.034,80 triliun, tumbuh 13,46% dibanding periode yang sama di 2017.
"Jadi jangan utangnya saja. Harus tetap terkontrol, nilainya terkontrol, jumlahnya sekian disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi, disesuaikan dengan pasar. Itu kita bilang me-
manage utangnya," kata dia ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (16/3/2018).
Selain nominal utang itu sendiri, pemerintah juga mencermati porsi utang yang berdenominasi sejumlah mata uang negara, baik itu rupiah, dolar AS maupun yen. Instrumen utangnya pun beragam. Dalam menentukan jenis produk utangnya, jenis mata uangnya, pemerintah tidak asal-asalan.
"Ditentukan dia tiap tahun seberapa besar. Dari yang berapa besar ini dalam mata uang apa, dalam bentuk produk apa, berapa yang konvensional, berapa yang ritel, berapa yang nanti bisa dibeli langsung oleh masyarakat," jelas Suahasil.
Yang namanya utang tentu ada jatuh tempo dimana dalam hal ini negara harus membayar cicilan tepat waktu. Yang bertugas di sini adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR). Begitupun untuk pembayaran bunga.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan salah satu alasan pemerintah berutang karena ingin mempercepat pembangunan infrastruktur.
"Kita bisa membangun (infrastruktur) lebih cepat karena ada utang duluan. Nanti kita bayar belakangan," katanya ditemui di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat.
Dengan kata lain, pemerintah utang agar bisa membangun infrastruktur lebih cepat ketimbang menunggu punya uang sendiri. Jika harus menunggu, dianggap terlalu lama. Sementara pembangunan infrastruktur Indonesia sendiri sudah terlambat.
Lalu muncul pertanyaan, kenapa harus berutang? Kenapa tidak menunggu sampai punya uang, Sehingga tidak terkesan memaksakan kehendak dan lupa utang terus membengkak.
"Artinya kita bangun infrastruktur, dan di pemerintahan ini kan (utang) dipakai besar-besaran untuk bangun infrastruktur, untuk bangun jalan, untuk bangun pelabuhan, berbagai macam, telekomunikasi dan macam-macam itu akan nanti (dampak positifnya dapat dirasakan)," tambahnya.
Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai utang pemerintah Indonesia yang mencapai Rp 4034,80 triliun di akhir Februari 2018 sudah berbahaya. Menurutnya pemerintah harus mengambil langkah agar utang tak naik lagi.
"Bahaya dong. secara matematis masih aman ya, ya karena 30% dari PDB. Tapi kan nilainya sudah besar sekali. Kalau tidak ada langkah-langkah nanti naik terus bahaya," kata Zulkifli di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.
Ia menyarankan pemerintah meningkatkan dan melakukan pemerataan ekonomi rakyat. Menurutnya langkah itu bakal membuat banyak orang yang membayar pajak dan pemerintah tak perlu mengutang lagi.
"Satu, caranya meningkatkan ekonomi rakyat. Kedua, tidak hanya meningkat, tapi harus pemerataan sehingga banyak orang akan bayar pajak, pemerintah nggak perlu utang lagi," ujarnya.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengingatkan pemerintah tetap mempertimbangkan besaran utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini rasio utang RI terhadap PDB diketahui 29,24%.
"Tak dipungkiri penerimaan negara tak bisa menutupi semua belanja negara kita. Apalagi, pemerintah sedang gencar melaksanakan pembangunan infrastruktur. Tentu kita berharap rasio utang tidak boleh melebihi PDB dan alokasi penggunaan digunakan secara bijak," ujar Taufik di Jakarta, Jumat.
Taufik berharap, belanja negara dialokasikan ke sektor produktif yang dibutuhkan masyarakat. Namun agar tak ditanggung oleh generasi masa depan, ia mengingatkan pengendalian rasio utang.
"Kita dukung pemerintah untuk mengoptimalkan belanja negara untuk sektor-sektor produktif dan kepentingan masyarakat. Namun selalu kita ingatkan agar rasio utang terkendali sehingga tidak menjadi tanggungan untuk anak cucu kita nanti," imbuhnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat untuk tak menghkawatirkan jumlah utang pemerintah yang sudah tembus Rp 4.000 triliun . Utang yang dimaksud itu adalah utang pemerintah di luar utang swasta.
Per Februari 2018, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 4.034,8 triliun atau tumbuh 13,46% jika dibandingkan periode yang sama di tahun 2017. Dengan angka sebesar itu rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 29,24%.
Darmin mengatakan, seluruh utang pemerintah digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif, dan tidak ada yang digunakan untuk sektor konsumtif.
"Utang pemerintah itu kamu jangan sebut-sebut angkanya, hasilnya juga banyak utang itu, produktif, nggak ada yg konsumtif," kata Darmin di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat.
Darmin mengungkapkan bahwa utang pemerintah belum terlihat mengkhawatirkan meskipun angkanya sudah tembus Rp 4.034,8 triliun.
"Kita nggak lihat (kekhawatiran), karena dalam membayar utang kita nggak ada kesulitannya berapa sih utang itu kalau dibanding GDP kita tahu angkanya 29%(ratio debt to ratio). Kemudian dibanding ekspor kita itu, debt to ratio itu ekspor kita cukup besar nggak? Hasil devisa maksudnya, devisa cukup besar untuk bayar itu. Sehingga jangan terpengaruh angka yang begitu besar itu triliunan," tutup dia.