Freeport Bicara Soal Mogok Kerja dan Isu PHK Karyawan

Freeport Bicara Soal Mogok Kerja dan Isu PHK Karyawan

Ardan Adhi Chandra - detikFinance
Selasa, 27 Mar 2018 08:40 WIB
Kantor PT Freeport Indonesia. Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - PT Freeport Indonesia (PTFI) tercatat memiliki 7.031 karyawan yang berafiliasi langsung. Angka tersebut dengan catatan 4.002 karyawan non papua atau sekitar 56,92%, 2.893 karyawan asli papua atau sekitar 41,15%, dan 136 karyawan asing atau sekitar 1,93%.

Selain memiliki 7.031 karyawan langsung, Freeport Indonesia juga menyerap lebih dari 20.000 tenaga kerja yang berasal dari kontraktor yang disewa PTFI.

Para pekerja PTFI dalam beberapa kesempatan juga melakukan protes ke perusahaan dengan melakukan mogok kerja. Aksi mogok kerja tersebut mulanya terjadi di 2011 silam menuntut remunerasi karyawan yang terkaiat gaji, bonus, dan hak lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tahun 2011 SP (serikat pekerja) menginisiasi mogok, padahal perundingan belum selesai. Tahun 2011 terjadi kesepakatan rupanya di tahun-tahun berikutnya pola berlanjut hingga 2011,2012 akhir," kata VP Compensation and Benefit Management PTFI Nikodemus B Purba saat berbincang dengan detikFinance di kantornya, Jakarta Selatan, Senin (26/3/2018).

Aksi mogok kerja tersebut bukan sekali dua kali dilakukan, melainkan berulang. Aksi ini dilakukan guna menekan PTFI memenuhi hak karyawan.

"Menjadi satu pola memang dan kebetulan dipimpin ketua SP yang sama, sehingga menjadi pola yang digunakan untuk menekan kalau permintaan nggak dipenuhi (kemudian) aksi penghentian operasi," kata pria yang akrab disapa Niko.

Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama menambahkan, aksi mogok kerja yang terjadi awal tahun lalu disebabkan karena adanya transisi operasi tambang terbuka alias open pit ke tambang bawah tanah.


"Tahun 2017 memang transisi dari terbuka ke tambang bawah tanah. Harus siapkan tenaga kerja dari tambang terbuka transisi ke bawah tanah tapi semua nggak mau. Ada yang terima ada yang nggak berbuat macam-macam supaya kerjaan dia mau kerja di open pit (tambang terbuka)," tutur Riza.

Aksi mogok kerja juga dipicu oleh dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini mengatur hanya perusahaan tambang yang berstatus izin usaha pertambangan khusus (IUPK) bisa melakukan ekspor, sedangkan yang berstatus kontrak karya (KK) tidak bisa melakukan ekspor.

"Kalau nggak boleh ekspor, produksi di-cut 60%. 60% pekerja kita, kelebihan pekerja," kata Riza.

Untuk itu, perusahaan menghentikan operasi di tambang terbuka, belanja barang juga dikurangi, dan juga menghentikan pekerja dari kontraktor. Sekitar 823 karyawan PTFI dirumahkan, namun mereka masih mendapatkan gaji dan tunjangan namun tanpa mendapatkan upah overtime karena dihentikannya operasi tambang sementara tersebut.

"Keadaan perusahaan belum normal. Pemerintah belum memberikan kelangsungan operasi. Merumahkan ini dan menghilangkan beberapa posisi," ujar Riza.

Sementara itu, smelter Freeport Indonesia di Gresik juga berhenti beroperasi. Fasilitas pengolahan mineral tersebut beroperasi kembali di Maret 2017.


Riza melanjutkan, pada April 2017 Ketua Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (PUK SP-KEP) SPSI PT Freeport Indonesia disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Timika karena diduga menggelapkan iuran anggota sekitar Rp 3 miliar.

Sejak saat itu, secara bertahap 3.500 pekerja Freeport Indonesia yang tergabung di dalam SPSI menyatakan solidaritasnya dengan memberikan dukungan langsung di PN Timika.

Sayangya, aksi tersebut tidak diberitahu ke perusahaan dan membuat operasi tambang terhenti. Para pekerja yang turun ke jalan baru melayangkan surat ke perusahaan di awal Mei saat aksinya sudah berlangsung sejak awal April.

"Tanggal 21 (April 2017) keluarkan surat bilang mereka mau mogok," tutur Riza.

Dalam surat tersebut, mereka yang tergabung di dalam serikat pekerja (SP) menuntut tiga hal, di antaranya menghentikan program merumahkan hingga mengembalikan pekerja yang dirumahkan. Padahal, saat ini Freeport Indonesia sudah mendapatkan izin ekspor konsentrat dari pemerintah.

Langkah perusahaan merumahkan karyawan atau furlough dinilai pekerja merugikan mereka. Padahal, tawaran ini cukup bayak diminati para karyawan.

"Kalau furlough dinilai merugikan karyawan, nggak mungkin 600 orang ambil. Terus ada lagi 1.000 orang ingin ambil paket," kata Riza.

Dari 3.500 karyawan yang mogok kerja, 200 di antaranya sudah kembali bekerja, sedangkan 3.274 bermasalah dan dinilai mangkir dari kewajibannya. Mereka yang mangkir sudah tidak lagi menjadi pegawai Freeport dan sudah diberi satu bulan gaji.


Kemudian pada 21 Desember 2018, Freeport Indonesia menawarkan solusi dengan memberikan gaji sebesar 1,5-4,5 kalinya untuk eks karyawan hingga penghapusan utang.

"Kita berikan maksimum 4,5 kali gaji," tutur Niko. (ara/ang)

Hide Ads