"Ini pendapat saya. Supaya tidak terjadi kisruh, yang diberi ijin untuk mengimpor bahan baku garam itu adalah perusahaan yang punya pabrik, contohnya Satoria ini," kata Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Agung Kuswandono di pabrik farmasi PT Satoria Pharma, Wonorejo, Pasuruan, Rabu (18/4/2018).
Agung mengungkapkan beberapa waktu terakhir terjadi kisruh terkait impor garam karena ada perusahaan yang tak memiliki pabrik tapi diberi ijin impor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dua Minggu Lagi Garam Impor Masuk RI |
Menurut Agung impor garam industri merupakan keharusan karena garam domestik belum memenuhi standar. Pemerintah berusaha melindungi semua kepentingan.
"Pemerintah harus mengambil jalan tengah. Produksi garam rakyat terus kita kembangkan sementara kebutuhan garam untuk industri juga harus dipenuhi. Saat ini kita memang harus impor karena produksi tidak boleh berhenti. Apalagi untuk farmasi," tandasnya.
Pemerintah saat ini terus menambah luas ladang garam di Indonesia bagian timur. Indonesia timur dipilih karena lautnya masih bagus dan kadar NaCl air lautnya sangat tinggi sehingga akan meningkatkan kualitas garam domestik.
"Ladang garam kita saat ini di Madura, pantai utara Jawa, sedikit di Sumatera dan Aceh. Meski punya gari pantai yang panjang tidak semua cocok untuk garam. Karena itu untuk daerah mengembangkan ladang garam kita pilih di NTB, NTT, Sulawesi Selatan. Saat ini, masih clean dan clear tanahnya, sama sebagian sudah produksi sekitar 10 ribu hektar," terangnya.
Baca juga: JK: Kalau Beras dan Garam Kurang, Kita Impor |
Agung optimis jika pengembangan tersebut berhasil maka akan banyak invertor yang masuk dan mengembangkan ladang garam sehingga produksi garam nasional meningkat.
Diserap Industri Farmasi
Kemenko Bidang Kemaritiman memastikan pelaku industri farmasi akan menyerap garam domestik jika kualitasnya memenuhi standar. Oleh karena itu para pengusaha garam didorong untuk meningkatkan kualitas produknya.
"Kalau garam lokal ini standarnya bisa dinaikan dan memenuhi standar dari industri, maka industri terutama farmasi akan kita wajibkan untuk menyerap itu. Jadi jangan khawatir soal itu. Saat ini masalahnya garam itu nggak bisa jadi bahan baku untuk industri, terutama farmasi," kata Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono.
Agung mengatakan industri farmasi membutuhkan garam dengan kualitas sangat tingi diantaranya NhCl 99,9% hingga kadar airnya harus rendah. Karena garam domestik belum bisa memenuhi kriteria tersebut maka harus impor.
"Kalau nggak impor maka perusahaan ini akan mati dan kita akan kehilangan jutaan infuse yang dipakai setiap hari. Ini jadi masalah nasional juga kan. Infuse kan sangat penting untuk kesehatan kita," urainya.
Menurut Agung, kualitas dan kriteria tertentu juga dituntut industri makanan, kosmetik dan lainnya. Sehingga garam domestik harus ditingkatkan kualitasnya. Pengusaha garam harus bisa menaikan greet garam yang diserap dari petambak rakyat.
"Sebetulnya sekarang prosesnya sudah ada. Hanya saja ada yang ingin memaksakan kehendak bahwa harganya harus sekian, kalau turun nggak mau dia. Padahal kalau impor harganya jauh lebih rendah. Oleh karena itu, kita harus membuka diri untuk mengetahui posisi-posisi ini," terangnya.
Pihak Satoria Group selaku produsen farmasi juga memberikan jaminan akan menyerap garam domestik jika menenuhi kriteria.
"Dari awal kami dari Satoria sebenrnya ingin menggunakan garam farmasi lokal, hanya belum tersedia. Mau nggak mau impor," kata Chief Operating Officer Satoria Group Debbora Novita.
Karena harus impor, Debbora berharap sistem regulasi bisa lebih baik dan suplai selalu tersedia sehingga ada jaminan ketersediaanya bahan baku.
"Perusahaan ini baru komersial 2018. Kami ajukan kuota impor 160 ton untuk bahan baku selama setahun. Kami berharap kedepan perizinannya lebih baik, jangan terlambat karena produksi kan terus berjalan," pungkasnya.
Baca juga: Garam... Oh, Garam! |