Demikian seperti disampaikan International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya, Rabu (18/4/2018). Utang global adalah akumulasi utang yang diserap seluruh negara di dunia lewat berbagai instrumen pembiayaan. Total nilai utang itu termasuk utang pemerintah, rumah tangga dan korporasi yang ada di seluruh dunia.
Dalam laporan IMF disebutkan total utang global telah menyentuh US$ 164 triliun di 2016, setara dengan 225% dari total GDP dunia. Angka ini naik cukup signifikan bila dibandingkan dengan posisi yang dicatatkan tahun 2009 yang hanya sekitar 12% GDP dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih merujuk data yang sama, peningkatan utang global tersebut terutama disumbang penyerapan utang tiga negara besar tersebut, yang porsinya hampir mencapai separuh utang global secara keseluruhan.
Sementara separuh sisanya disumbang oleh utang dari negara-negara berkembang yang juga terpantau naik signifikan saat ini. Utang yang diserap negara-negara berkembang menyumbang sekitar 40% dari total utang global.
Negara-negara berkembang saat ini berlomba-lomba mengejar manfaat dari momentum pemulihan ekonomi global dengan cara menggenjot pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Apa dampaknya bagi dunia?
Financial Counsellor and Director for the Monetary and Capital Markets Department IMF, Tobias Adrian mengatakan, kondisi ini bisa berdampak negatif bagi berbagai negara di seluruh dunia, teruta negara-negara berkembang dan negara berpenghailan rendah.
"Dalam jangka menengah, kami melihat, risiko stabilitas keuangan semakin meningkat," kata Adrian dalam paparannya di Gedung IMF, Washington.
Risiko yang dimaksud terutama timbul dari adanya potensi pengetatan ekonomi yang dilakukan negara-negara besar untuk mengurangi utangnya. Pengetatan yang dimaksud dari mulai penyesuaian pajak hingga peningkatan suku bunga acuan yang dampaknya adalah meningkatkan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan, katakan lah Amerika Serikat dengan dolarnya.
Hal ini jelas berisiko bagi negara-negara berkembang yang menyerap utang dalam bentuk dolar lantaran nilai pengembalian utang yang harus dibayarkan akan membengkak. Mengingat, pendapatan negara berkembang umumnya diperoleh dari masyarakatnya sendiri dalam bentuk mata uang lokal sementara utang yang harus dibayarkan dalam bentuk dolar.
"Ini bisa menyebabkan permasalahan pendanaan dolar ketika terjadi ketegangan di pasar," sebut dia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara berkembang yang juga banyak menyerap utang dalam bentuk dolar, Indonesia juga menanggung risiko bila terjadi pengetatan ekonomi di negara-negara besar seperti AS.
Namun, Director Fiscal Affairs Department IMF, Vitor Gaspar melihat Indonesia masih punya peluang keluar dari ancaman bila terjadi ketegangan ekonomi secara global bila sejumlah catatan bisa dipenuhi. Terutama adalah melaksanakan reformasi kebijakan yang sudah direncanakan dengan konsisten.
"Indonesia sudah dalam posisi yang sesuai dengan melakukan aneka reformasi dalam kebijakan fiskalnya. Yang harus dilakukan saat ini adalah meningkatkan pendapatan, salah satunya dari pajak. Masih ada ruang bagi Indonesia untuk meningkatkan, rasio perpajakannya. Selain itu, mendongkrak spending private sektor masih harus dilakukan," kata dia ditemui terpisah. (dna/hns)