Dolar AS Tembus Rp 14.000, Bagaimana Dampaknya ke APBN?

Dolar AS Tembus Rp 14.000, Bagaimana Dampaknya ke APBN?

Puti Aini Yasmin - detikFinance
Selasa, 08 Mei 2018 13:31 WIB
Ilustrasi dolar AS.Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Pagi ini nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) telah mencapai angka Rp 14.027. Dolar AS berada di posisi tertingginya di 2018.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan pelemahan mata uang terhadap dolar AS tidak hanya dialami rupiah saja. Gejolak pasar uang juga dirasakan mata uang negara lain.

"Kan memang volatilitas di dunia masih tinggi dalam konteks itu kan semuanya melakukan adjustment," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (8/5/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Meski demikian, ia menambahkan kondisi perekonomian dalam negeri berada di posisi yang cukup baik. Hal ini dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 yang berada di level 5,06%.

"Tapi kan posisi Indonesia, dari posisi economic growth yang kemarin diumumkan cukup baik dan mendapatkan apresiasi," kata Suahasil.

Nilai tukar dolar AS yang menembus Rp 14.000 terbilang jauh dari asumsi makro yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 di level Rp 13.400. Suahasil menyebutkan, penerimaan negara bisa lebih tinggi akibat menguatnya nilai tukar dolar AS.


Ia menambahkan, hal yang juga mempengaruhi penguatan dolar AS terhadap APBN 2018 adalah pengeluaran terutama subsidi energi berupa minyak bumi yang diimpor. Meski demikian, ia menjamin pengaruh penguatan dolar AS terhadap rupiah tidak terlalu mengkhawatirkan.

"Kalau kita nett antara penerimaan dengan pengeluaran maka efeknya masih lebih tinggi penerimaannya. Jadi kalau dari sisi pengelolaan APBN tidak ada hal yang mengkhawatirkan tetapi kita tetap mengawasi, memastikan situasinya kan bukan hanya APBN tapi perekonomian secara keseluruhan," ujar Suahasil.

Penguatan dolar AS juga bisa membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal yang kemudian berujung kepada inflasi. Namun, besaran inflasi dengan volatilitas dolar AS diperkirakan tak terlalu signifikan.

"Kalau kurs naik, maka barang impor bisa meningkat dan menyumbang ke inflasi. Itu bisa dilihat, tapi sampai saat ini kita masih lihat potensi inflasi yoy (year on year) kalau dilihat pergerakan optimis 3,5% akhir tahun," kata Suahasil. (ara/hns)

Hide Ads