45% Orang Jakarta Tinggal di Rumah Warisan

45% Orang Jakarta Tinggal di Rumah Warisan

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Kamis, 17 Mei 2018 14:10 WIB
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Meski masuk dalam kriteria kebutuhan pokok, tempat tinggal masih menjadi isu yang belum teratasi dengan baik sampai saat ini. Edukasi, terlebih soal pembiayaan, membuat banyak orang masih menunda pembelian huniannya.

Hal ini terlihat dari hasil survei yang menyatakan bahwa nyaris 45% penduduk Jakarta tidak tinggal di rumah yang mereka beli sendiri. Demikian dikutip detikFinance dari keterangan resmi rumah123, Kamis (17/5/2018).

Dari hasil sentiment survei yang dioleh tim Business Intelligent Rumah123, meski tinggal di rumah yang berlabel milik sendiri, hunian tersebut diketahui didapat dari hasil warisan keluarga. Sisanya sebesar 36% menyewa/mengontrak/kost, dan hanya 19,4% yang punya rumah lewat uang sendiri atau milik sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Betul, pengakuan tinggal di rumah sendiri, namun rumah tersebut mereka peroleh dari warisan. Bukan dibeli dengan uang mereka sendiri," kata Country General Manager Rumah123, Ignatius Untung.



Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Bandung dan Surabaya yang masing-masing 56% dan 47% penduduknya menempayi rumah yang merupakan rumah warisan atau milik orang tua atau rumah dinas. Wilayah penyangga Jakarta yang mencakup Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi justru sebaliknya, di mana sebagian besar penduduknya menempati rumah milik sendiri atau hasil uang sendiri.

Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memiliki rumah sendiri sejak dini juga bisa dilihat dari tingkat penghasilan juga tak mempengaruhi kemampuan mereka membayar DP atau uang muka.

Berdasarkan data yang diolah situs properti anak perusahaan REA Group Australia ini, besaran uang muka atau down payment (DP) ternyata masih menjadi momok di semua kelompok penghasilan.

"Jadi kurang tepat jika berpikir hanya mereka dengan penghasilan kecil yang kesulitan menyediakan dana untuk pembayaran DP."

Jika mereka yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan kesulitan membayar DP lantaran kurangnya penghasilan, berbeda dengan yang di atas Rp10 juta. Golongan berpenghasilan terbilang besar ini malah cenderung kesulitan membayar DP karena "terlilit" utang. Sebut saja credit card, Kredit Tanpa Agunan (KTA), dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).



Menariknya, ada tren definisi investor terkini. Meski baru membeli properti untuk kali pertama, milenial sudah menggolongkan dirinya sebagai investor, bukan lagi first home buyer.

"Responden milenial sudah cukup sadar bahwa properti memiliki return yang bagus. Jadi, meski bukan hunian idamannya, saat mampu membeli sebuah properti, maka mereka akan berpikir itu sebagai bentuk investasi," katanya.

Data menunjukkan bahwa 60,32% milenial di rentang usia 22-28 tahun mencari hunian sebagai bentuk investasinya, sementara 39, 68% lainnya belum berencana sedikitpun. Meningkat cukup banyak, setidaknya ada 75% milenial di rentang usia 29-35 yang mulai mencari hunian investasi.

Pola pikir pragmatis juga cukup mewarnai keputusan pembelian properti dengan menggunakan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Hal ini cenderung terjadi pada masyarakat di golongan penghasilan di bawah Rp10 juta yang rela membayar cicilan dengan bunga lebih tinggi selama proses pengajuannya tidak terlalu sulit.

Adapun sentiment survei H-I/2018 ini melibatkan 1.922 responden selama periode 13 Maret-27 April 2018. Responden berasal dari Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya di Pulau Jawa.

(fdl/eds)

Hide Ads