"Kultur budaya menjadi pintu masuk untuk menetapkan kebijakan. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah harus aktif dan tentunya berbasis kepada kebudayaan dan kebiasaan di masyarakat sehingga kebijakan dapat cocok," ungkap Arif dalam keterangan tertulis, Kamis (17/5/2018).
Itu disampaikan Arif ketika mengadakan dialog bersama pemangku kepentingan lokal Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) di Padang, Kamis (17/5/2018). Pertemuan tersebut membahas kebudayaan dan kebiasaan masyarakat yang menjadi pertimbangan penting dalam menerapkan kebijakan, termasuk mengimplementasikan atau penerapan Sistem Ekonomi Pancasila.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arif menyampaikan Ekonomi Pancasila mensyaratkan pemerintahan yang aktif dan kebijakannya tidak bertentangan dengan kebudayaan dan kebiasaan di masyarakat. Sistem Ekonomi Pancasila memiliki tujuan keadilan sosial sebesar-besarnya, sehingga harus mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Untuk itu, diperlukan aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat.
Adapun kebijakan ekonomi yang dimaksud mencakup kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan riil. Kebijakan tersebut akan memiliki ciri khas Ekonomi Pancasila sebagai ruh ekonomi konstitusi, tidak anti pasar. Namun, pada saat bersamaan negara mendukung serta menopang pelaku pasar yang lemah dan terlemahkan.
Arif juga berpandangan bahwa semangat Ekonomi Pancasila tersebut selaras dengan kebijakan pemerintah saat ini yang berorientasi pada kesejahteraan sosial untuk menekan ketimpangan dan meningkatkan keadilan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun selalu menekankan keadilan ekonomi pada setiap program kerjanya.
"Program-program yang berdasar pada keadilan ekonomi memiliki dua orientasi baik terhadap akses dan juga aset di seluruh aspek kehidupan karena aset saja tidak cukup tapi perlu juga dukungan lainnya sehingga hidup masyarakat bahagia, sejahtera, dan merdeka," ucap Arif.
Sementara itu Guru Besar Universitas Andalas, Syafrudin Karimi mengatakan, pemusatan kepemilikan aset pada segelintir orang menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan sistem Ekonomi Pancasila.
Data Credit Suisse 2017 menyebutkan, sebanyak 1% orang terkaya Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional. Sedangkan dari sisi kondisi ketimpangan, laporan bertajuk "Global Wealth Report 2017" itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-4 setelah Thailand, Rusia, dan China.
Menurut dia, untuk menekan ketimpangan tersebut dapat melalui peraturan mengenai redistribusi aset. Aturan itu nantinya mengatur kekayaan minimun yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Setelahnya, barulah diikuti dengan kredit murah, akses pasar dan perlindungan.
"Bikin saja RUU tentang redistribusi aset. Kalau belum ada aset bermanfaat belum ada demokrasi ekonomi yang adil dan beradab serta persatuan bangsa," jelas Syafrudin.
Oleh karena itu, Syafrudin menegaskan demokrasi ekonomi menjadi sangat penting. Pasalnya, konsolidasi perekonomian tidak mungkin terjadi jika demokrasi ekonomi tidak diciptakan.
Sementara itu, Ketua Pemimpin Wilayah Muhammdiyah Sumatera Barat, Sofwan Karim, menambahkan, saat ini yang berlaku di pasar harga ditentukan oleh tengkulak, bukan antara produsen dengan pembeli. Hal ini membuat pasar tidak sempurna dan cenderung menguntungkan segelintir pihak.
"Jadi bisa digambarkan bahwa di pasar saja terjadi asimetris informasi yang sudah tidak mencerminkan Ekonomi Pancasila," ucapnya.
Menyambung hal tersebut, Guru Besar Universitas Andalas, Nusyirwan menjelaskan ekonomi tradisional bisa menjadi jalan keluar bagi asimetris informasi dan titik awal untuk mengimplementasikan sistem Ekonomi Pancasila yang lebih luas.
Dia menjelaskan, pasar tradisional adalah realitas model ekonomi di Sumatera Barat. Di setiap pasar tradisional ada komisi pasar yang menjamin pedagang bisa mendapatkan tempat-tempat berdagangnya di suatu pasar. Kelembagaan di setiap pasar tradisional sangat diperlukan.
"Ke depan, komisi pasar bisa dijadikan sebagai lembaga yang mencoba untuk menciptakan transparansi harga yang ada di pasar," ungkap Nusyirwan. (idr/hns)