Jakarta -
Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) mengamuk lagi. Rupiah pun kembali terkapar.
Kemarin tercatat dolar AS telah tembus di atas level US$ 14.200. Level tersebut jauh lebih tinggi dari posisi awal tahun yang masih berada di bawah Rp 13.500.
Setelah heboh saat dolar AS tembus Rp 14.000, kondisi ini tentu juga akan berpengaruh ke berbagai sektor. Salah satunya sektor pasar modal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Bank Indonesia (BI), sang penjaga moneter terlihat santai melihat pelemahan Rupiah. BI yakin kondisi rupiah sudah kembali normal.
Itu merupakan rangkuman berita tentang penguatan dolar AS kemarin. Berikut rangkumannya:
Kemarin tanda-tanda penguatan dolar AS terjadi sejak pagi hari. Penguatan mata uang Paman Sam itu sejak pagi sudah tembus level Rp 14.150.
Menjelang siang dolar AS kian menguat hingga melewati level Rp 14.175 dan Rp 14.185. Tepat siang hari dolar AS hanya terpaut 3 poin sebelum tembus Rp 14.200 yakni Rp 14.197.
Lalu sekitar pukul 14.38 WIB nilai tukar dolar AS terhadap rupiah naik dari level Rp 14,150, Rp 14.175, Rp 14.185 dan akhirnya menembus Rp 14.200.
Sementara mengutip data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI) saat itu masih berada di level Rp 14.176.
Bank-bank besar juga kompak menjual dolar AS di atas level Rp 14.200. Seperti BNI yang menetapkan harga jual dolar AS berada di level Rp 14.265 pada pukul 15.35 WIB. Kemudian, untuk kurs beli dipatok Rp 14.065.
Bank BUMN lainnya, Bank Mandiri juga menjual dolar AS Rp 14.210. Sedangkan, untuk kurs beli dolar AS dipatok Rp 14.180.
Mengutip laman BRI, kurs jual dolar AS di bank ini Rp 14.247. Kemudian, kurs belinya Rp 14.147.
Selanjutnya, BCA mematok kurs jual dolar AS Rp 14.207. Selanjutnya, untuk kurs beli di Rp 14.185.
Pelemahan mata uang Rupiah pun ikut mempengaruhi pasar modal. Kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun 49,456 poin atau 0,86% ke posisi 5.733.
Menurut Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan, pelemahan mata uang Rupiah semakin menambah beban gerak IHSG. Pelaku pasar diyakini akan memilih untuk menjauh dari pasar saham.
"Pelaku pasar akan stay away dulu dari pasar. Mereka tahan diri untuk masuk. Mereka akan tunggu di level berikutnya," tuturnya.
Reza menerangkan, pelemahan IHSG yang sudah berkepanjangan sendiri tidak lepas dari pelemahan rupiah yang juga sudah terjadi cukup dalam. Hal itu juga terlihat dari aksi jual investor asing dari awal tahun (ytd) yang sudah mencapai Rp 40 triliun.
Dengan semakin melemahnya mata uang rupiah, investor yang masih menahan portofolionya di saham berpotensi untuk melakukan aksi jual. Hal itu berpotensi kembali menurunkan IHSG.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga akan menambah beban saham di sektor-sektor yang berorientasi pada impor.
"Saham yang akan terpengaruh sektor yang eksposure ke dolar AS nya besar. (Seperti) industri manufaktur, farmasi, konsumer," kata Reza.
Sebaliknya, penguatan dolar AS akan berdampak positif bagi saham-saham yang berorientasi ekspor. Apalagi jika pendapatannya dolar AS namun biaya operasionalnya dalam bentuk Rupiah.
Menurut Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada, kembali melemahnya rupiah menjadi bukti keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7 days repo rate menjadi 4,5 tidak ampuh. Keputusan itu diambil juga dianggap terlambat.
"Naikannya suku bunga bukan satu obat yang mujarab untuk menolong rupiah. Apalagi kemarin kenaikan suku bunga terjadi setelah rupiah sudah tertekan cukup dalam. Jadi orang sudah under estimate dulu baru BI datang menaikkan suku bunga. Itu yang disayangkan keputusan BI menunda," terangnya.
Reza menilai seharusnya BI tidak menunda menaikkan suku bunga acuan hingga rupiah terkapar di level Rp 14.000. Menurutnya level Rp 13.800 harusnya sudah menjadi warning bagi BI.
"Keputusan melakukan perubahan suku bunga tidak harus dilakukan pada jadwal RDG yang telah ditetapkan. Bisa dilakukan sewaktu jika diperlukan," tambahnya
Meski begitu menurut Reza kondisi makro ekonomi Indonesia juga kurang mendukung. Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengeluarkan data bahwa pada April 2018 terjadi defisit hingga US$ 1,63 miliar.
Oleh karena itu menurutnya pemerintah harus mencari upaya untuk mendorong ekspor dalam neraca perdagangan. Caranya dengan memberikan stimulus kepada industri.
Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa kondisi sektor keuangan dan perekonomian nasional masih stabil dan tidak perlu dikhawatirkan. Meskipun nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) sempat tembus ke level Rp 14.200.
"Tapi nggak sampai Rp 14.200, kan sudah kembali normal," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Kementerian Keuangan, Jakarta.
Agus menilai pergerakan nilai dolar AS ini juga dikarenakan rencana sanksi yang diberikan oleh negeri Paman Sam tidak dikeluarkan pada saat perundingan nuklir.
Penyebab lain menguatnya dolar AS juga karena sentimen positif terhadap ekonomi negeri adidaya tersebut.
Kenaikan suku bunga acuan 7 Days Repo Rate sebesar 25 basis poin (Bps) menjadi 4,5% pun sudah cukup untuk menstabilkan sektor keuangan nasional, karena ditambah dengan bauran kebijakan moneter lainnya.
"Ini konsisten untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia di tengah situasi dunia yang sedang penuh ketidakpastian, namun tentu kita nggak bisa lepas dari kondisi nilai tukar terhadap mata uang dunia lainnya khususnya dengan US$," jelas Agus.
Agus menambahkan kondisi nilai tukar dolar AS yang sempat menyentuh Rp 14.200 pun tidak akan mengembalikan Indonesia seperti krisis pada 10-20 tahun lalu.
Kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 10-20 tahun yang lalu.
"Dilihat dari cadangan devisa, kondisi modal perbankan yang berada di level 22%, kredit macet di bawah 3%, dan adanya LPS yang menjamin deposito. Kita kan baru melakukan KSSK dan riview semua dan kita melihat semua dalam keadaan stabil," tutup dia.
Menanggapi hal itu nilai tukar Rupiah yang kiam terpuruk, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan juga senada dengan BI.
Dia menilai pelemahan rupiah masih sejalan dengan pergerakan ekonomi dunia sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
"Rupiah Rp 14.000 sekian per US$ 1, tapi fundamental ekonomi Indonesia masih sangat bagus dan masih sangat percaya diri. Kalau kita lihat perekonomian Amerika juga bergerak. Kita harus menghadapi isu ini," ujarnya.
Luhut mengatakan, pemerintah masih percaya bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat bagus. Hal tersebut sesuai dengan pergerakan ekonomi secara global.
Untuk pelemahan Rupiah, dia menilai semua mata uang dunia sedang mengikuti pergerakan dari penguatan dolar. Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan masyarakat.
"Dolar saya kira it is ok karena dia masih sejajar dengan pelemahan curency dunia jadi tidak kita sendiri yang tiba-tiba naik jadi saya kira tidak ada yang perlu dikhawatirkan," sambungnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman