di Indonesia kini telah mencapai 4,75%. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo telah menaikkan bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) sebagai langkah untuk meredam gejolak dari tekanan eksternal.
Hal ini karena pengaruh global seperti kenaikan bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve yang turut mempengaruhi suku bunga di dalam negeri.
Jika bunga acuan di dalam negeri mengalami peningkatan. Maka akan berimbas pada kenaikan suku bunga simpanan yang akhirnya mempengaruhi tingkat bunga kredit.
Apa benar Indonesia sudah memasuki tren peningkatan suku bunga? Simak berbagai ulasan berikut ini:
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menjelaskan hal ini karena mulai naiknya bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS). Karena itu akan berdampak ke suku bunga acuan di Indonesia.
"Saya rasa perkembangan suku bunga kita kemungkinannya naik. Karena suku bunga di AS itu naik. Jadi kita di Indonesia sebagai negara yang perekonomiannya terbuka, kenaikkan bunga AS tak bisa dihindari," kaya Halim di kediamannya, Jakarta, Sabtu (16/6/2018).
Dia menjelaskan sebelum ada kenaikkan suku bunga di AS Indonesia sudah memiliki keseimbangan. Seperti angka inflasi yang relatif rendah, kemudian pertumbuhan ekonomi yang di kisaran 5% dan nilai tukar yang relatif terjafa.
"Ini adalah suatu keseimbangan, tapi begitu AS menaikkan bunga berarti faktor tersebut ada perubahan. Karena itu BI membuat perhitungan baru bagaimana bisa mempertahankan keseimbangan ini," jelas dia.
Menurut dia Indonesia memiliki kesempatan untuk tumbuh lebih baik karena pertumbuhan ekonomi dunia juga membaik. Indonesia berpotensi memperbaiki kinerja ekspor.
"Nah prediksinya pertumbuhan ekonomi dunia membaik, karena ekonomi AS, Jepang, China, Eropa semuanya membaik. Kalau mereka membaik kita debagai negara yang mengekspor juga akan mendapat manfaat," ujar dia.
Namun sayang di tengah pertumbuhan ekonomi ini AS lebih dulu mengalami recovery. Kemudian negara adidaya tersebut khawatir terhadap inflasi, hal ini yang menyebabkan kenaikan suku bunga.
"Begitu The Fed naikkan bunga, faktor yang berada di balik keseimbangan itu berubah. Antara lain direspon oleh BI untuk menaikkan bunga acuannya. Kalau ini terjadi dan ditambah kegiatan ekonomi yang diharapkan lebih baik," imbuh dia.
Bank sentral AS, The Fed telah meningkatkan bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2% dari sebelumnya 1,75%. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengungkapkan bunga acuan AS sudah berada dalam tren kenaikkan. Karena itu akan diikuti dengan kenaikkan suku bunga di dalam negeri.
"Memang ada satu risiko ekonomi dengan peningkatan ini. Selain itu adanya perang dagang juga turut mempengaruhi, karena kebijakan Presiden Trump ini tidak bisa diprediksi dengan baik," kata Halim saat open house di kediamannya, Jakarta, Sabtu (16/6/2018).
Dia menjelaskan, AS memiliki strategi-strategi ekonomi yang tak bisa ditebak. Seluruh investasi harus kembali dan menarik di AS. Menurut dia langkah ini akan menyebabkan perekonomian AS semakin kencang dan membuat defisit fiskal makin besar karena adanya penurunan pajak.
"Saat ini AS sudah full employment, sehingga artinya kalau itu dipaksakan maka pertumbuhan ekonomi baik tapi juga diikuti oleh inflas. Nah kalau ini terjadi, Amerika juga akan menaikkan bunga lebih cepat," ujarnya.
Menurut dia, kenaikkan bunga yang lebih cepat akan menimbulkan risiko perang dagang. Menurut dia hal ini juga terus dipantau oleh LPS terkait pengaruh ke suku bunga penjaminan.
"LPS sendiri juga memantau jangan sampai stance kebijakan LPS terlalu longgar. Kita juga harus mengikuti apa yang terjadi untuk menjaga keseimbangan paling tidak keseimbangan di pasar keuangan Indonesia," jelas dia.
Menurut Halim saat ini setelah kenaikkan bunga The Fed masih bersifat ekspektasi. Namun kenaikan bunga mash menciptakan kenyamanan di pasar Indonesia.
Halim menambahkan, semuanya akan terjaga dengan baik jika pemerintah terus melakukan langkah-langkah yang membuat pasar yakin dan tetap di jalur yang benar dan on track. Kemudian optimisme juga dibangun dengan memperbaiki berbagai kebijakan di sisi sektor keuangan dan sektor riil.
"Saya rasa upaya kita membangun keseimbangan ini dihargai oleh pasar dan ekonomi kita akan bagus. Namun risiko-risiko tersebut tetap akan menjadi perhatian seperti bunga dan perang dagang tetap harus diperhatikan," ujarnya.
Halim Alamsyah menjelaskan bunga kredit yang paling cepat untuk naik adalah segmen kredit konsumsi. "Bunga kredit konsumsi akan terasa lebih cepat, karena permintaanya paling tinggi dan risikonya juga tinggi," kata Halim saat open house di kediamannya di Jakarta, Sabtu (16/6/2018).
Dia menjelaskan, selain itu kredit konsumsi bahkan ada yang tidak menggunakan agunan. Ini yang menyebabkan bunga kredit bisa naik lebih cepat. Setelah kredit konsumsi biasanya diikuti dengan bunga kredit investasi dan bunga kredit modal kerja.
"Tapi memang dibutuhkan waktu untuk kenaikan bunga kredit. Setelah bunga acuan Bank Indonesia (BI) naik maka ada penyesuaian tapi agak panjang 6 bulan atau satu tahun biasanya," ujar dia.
Berdasarkan data BI rata-rata suku bunga deposito tercatat 5,84% dan bunga kredit 11,2%. Pertumbuhan kredit pada Maret 2018 tercatat sebesar 8,5% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 8,2% (yoy).
Direktur Keuangan Bank Negara Indonesia (BNI) Anggoro Eko Cahyo menjelaskan dengan naiknya bunga acuan belum tentu bunga kredit akan mengalami kenaikan. "Belum pasti langsung naik, kan butuh waktu dan tergantung likuiditas banknya," kata Anggoro.
Dia menambahkan dalam menaikkan tingkat bunga dibutuhkan kajian dan perhitungan dari perbankan. Jadi tidak mesti setiap ada kenaikan bunga acuan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit. Dia menyebutkan, dengan penyesuaian ini pasti akan ada penyesuaian pada bunga deposito.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani memperkirakan bahwa BI juga akan menaikkan kembali suku bunga acuannya hingga 5,25% sampai akhir tahun.
"Kami dunia usaha sudah tahu kok kalau akan naik. Sekarang 4,75%, nanti naik jadi 5,0%, nanti juga naik lagi sampai 5,25% sampai akhir tahun. Karena kami tahu The Fed masih akan menaikkan sampai beberapa kali lagi. Tahun depan pun masih akan menaikkan sampai 2-3 kali lagi," kata dia.
Dia mengatakan, pihak pengusaha telah siap bila BI menaikkan suku bunga acuan hingga lebih dari 5% itu. Pihak pengusaha telah memiliki langkah antisipasi terkait dengan kenaikkan suku bunga tersebut.
"Karena kami tahu cost of fund akan naik, jadi kami sudah sesuaikan dengan rencana kami. Jadi bukan suatu yang mengagetkan, selama kami tahu apa yang mau kami lakukan," jelasnya.
Lebih dari itu Rosan mengatakan, sejatinya sektor dunia usaha tak hanya ingin bergantung pada perbankan, namun juga dapat memanfaatkan sumber pendanaan lain, contohnya seperti pasar modal.
"Kalau hanya bergantung pada perbankan, kami tahu kalau cost of fund akan naik dan yield serta suku bunga akan naik. Tapi ya it's okay, kami sudah mengantisipasinya. Kalau tidak diantisipasi baru itu repot," tuturnya.
Dari data analisa uang beredar bunga kredit perbankan secara rata-rata masih di kisaran dua digit yakni 11,1% turun dibandingkan periode bulan sebelumnya 11,18%.
Suku bunga kredit telah mengalami penurunan sejak Desember 2015 hingga September 2017 sebesar 200 basis poin (bps). BI menyebut pelonggaran suku bunga kredit ini masih terus terjadi.
Untuk suku bunga simpanan berjangka dengan tenor 1 bulan bunganya 5,46%, tenor 3 bulan 5,83%, tenor 6 bulan 6,16% dan 12 bulan 6,37%. "Bunga simpanan juga telah turun dibandingkan periode Maret 2018.
Meskipun bunga simpanan menurun, tapi untuk tenor 24 bulan justru meningkat menjadi 6,78% dibandingkan Maret 2018 6,74%.
Untuk pertumbuhan kredit perbankan pada April 2018 tercatat 8,9% atau sebesar Rp 4.807. Lebih tinggi dibanding periode Maret 8,5%. Pertumbuhan ini menjadi faktor likuiditas perekonomian dalam arti luas atau sebesar Rp 5.408 triliun.
Data BI menyebutkan meski kredit tumbuh, namun secara keseluruhan likuiditas perekonomian tumbuh melambat yakni hanya 7,4% dibanding pertumbuhan Maret 7,5%. Pertumbuhan uang beredar dalam arti luas karena komponen uang beredar dalam arti sempit (M1) yang tumbuh 10,2% (yoy), menurun dari bulan sebelumnya yang sebesar 11,9 persen (yoy). Namun uang kuasi naik 6,2% (yoy) menjadi 6,6% (yoy) sehingga menopang pertumbuhan uang beredar.