Menurut Airlangga, rapat membahas rencana membuat working grup atau kerja sama lintas kementerian untuk memperbaiki neraca perdagangan ekspor-impor Indonesia di tengah gempuran perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
"Kalau itu kan mengenai neraca pembayarannya kita melihat sektor-sektor yang bisa untuk memperbaiki impor dan ekspor, salah satunya tentu kita perlu mengantisipasi adanya trade war dengan Amerika dan dampaknya karena trade war ini kan dampaknya bisa satu sektor," katanya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (6/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Trump Mau Perang Dagang Dengan Indonesia? |
"Saya sampaikan bahwa kita harus mempersiapkan agar tidak menjadi kebanjiran impor karena selama ini produksi baja krakatau steel, misalnya, kalau dibanjiri oleh produk impor ini sulit untuk bisa meningkatkan utilisasi pabrik," sambungnya.
Selain sektor baja, Airlangga juga mencontohkan sektor keramik bisa terdampak dari perang dagang. Hal ini pun bisa menjadi pukulan bagi industri di Indonesia. Oleh karena itu, kerja sama lintas kementerian tersebut diharapkan bisa membantu dengan memanfaatkan bahan baku dari dalam negeri.
"Jadi kalau industri tidak mendapatkan gas sesuai dengan apa yang diharapkan ditambah lagi kebanjiran impor maka industri itu kena double hit. Dua kali pukulan, karena itu tadi disampaikan perlu membuat working group, working level agar industri baja kemudian industri keramik itu bisa memanfaatkan dalam negeri (bahan baku)," paparnya.
Subtitusi bahan baku
Selain itu, pemerintah akan mendorong investasi dengan cara substitusi atau mengganti bahan baku impor. Hal itu akan dilakukan dengan investasi.
"Cara penghematannya adalah substitusi impor. Nah substitusi impor bahan baku kita dorong untuk investasi. Tetapi kalau industri yang ada itu kan immediately langsung penghematan devisa. Nah yang bisa langsung penghematan devisa ini harus digenjot karena ini hasilnya instan," terangnya.
Sementara itu, kerja sama tersebut juga akan membahas untuk swap rate atau kesepakatan pertukaran pembayaran yang saat ini berkaitan dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Hal ini agar sebagai upaya mendorong sektor industri.
"Di tengah pelemahan kurs akibat gejolak ataupun global ini, ekonomi AS membaik mereka tingkatkan tingkat suku bunga. Kemudian di Eropa juga ekonomi membaik, Indonesia yang menggunakan rezim devisa bebas dan sekarang kita tahu di capital market 45% sampai 50% adalah investor asing sehingga ini rentan terhadap capital flight. Oleh karena itu perlu didorong dengan BI adalah swap rate yang jelas untuk longterm swap rate.
"Dengan swap rate yang jelas maka mereka yang punya devisa hasil ekspor bisa dengan cepat dia merupiahkan ekspor dan pada saat mereka butuh terhadap dolar mereka bisa cari dolar. Jadi itulah yang dibahas untuk kemudian dibuat dalam working grup detail," tutupnya (hns/hns)