Utang Pemerintah Tumbuh 14% Jadi Rp 4.227 T hingga Juni

Utang Pemerintah Tumbuh 14% Jadi Rp 4.227 T hingga Juni

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Rabu, 18 Jul 2018 09:35 WIB
Utang Pemerintah Tumbuh 14% Jadi Rp 4.227 T hingga Juni
Foto: Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan data terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, salah satunya soal utang pemerintah. Hingga paruh tahun 2018 ini utang pemerintah mencapai Rp 4.227 Triliun atau tumbuh 14% secara year on year (yoy).

Komponen utang pemerintah juga terbagi ke dalam beberapa bagian, antara lain pinjaman dalam negeri, pinjaman luar negeri, hingga surat berharga negara (SBN).

Pemerintah menyebut terus menjaga dengan baik rasio utang ini dan tetap mengimbangi dengan stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut ulasannya yang dirangkum detikFinance, Rabu (18/7/2018).
Dari laporan APBN KiTa disebutkan dari pinjaman Rp 785,13 triliun tumbuh 7,99% year on year (yoy). Dari komponen tersebut, pinjaman luar negeri tercatat Rp 779,81 triliun tumbuh 8,03%.

Dirinci lebih jauh, pinjaman bilateral sebesar Rp 324,76 triliun tumbuh 4,45%, pinjaman multilateral Rp 409,89 triliun, pinjaman komersial Rp 43,81 triliun, pinjaman suppliers Rp 1,34 triliun. Untuk pinjaman dalam negeri tercatat Rp 5,33 triliun tumbuh 2,82%.

Selanjutnya, untuk komposisi utang dari surat berharga negara (SBN) tercatat Rp 3.442,64 triliun tumbuh 15,54% yoy. Untuk SBN ini dengan denominasi rupiah tercatat Rp 2.419,67 triliun tumbuh 10,62%. Lalu untuk surat berharga syariah negara Rp 391 triliun tumbuh 16,12%.

Untuk utang denominasi valas tercatat Rp 1.022,91 triliun tumbuh 29,15%. Terbagi dalam surat utang negara (SUN) Rp 799,71 triliun dan SBSN Rp 223,26 triliun tumbuh 34,1%.

Rasio utang pemerintah per akhir Juni tetap terjaga di bawah 30% atau sebesar 29,79%. Persentase itu masih jauh di bawah batas 60% terhadap produk domestik bruto (PDB) sebagaimana ketentuan Undang-undang keuangan negara Nomor 17 tahun 2003.

Pemerintah mempunyai tujuan dan berkomitmen untuk melibatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan Indonesia lewat penerbitan SBN serta mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan pemerintah berupaya untuk menjaga utang dan pembiayaan utang secara hati-hati.

"Kami bertanggung jawab untuk menjaga dengan hati-hati. Bukan berarti kita banting setir, tapi kita juga menjaga ekonomi agar tetap stabil," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (17/7/2018).

Kemudian dia menjelaskan, pemerintah juga berupaya untuk menjaga utang agar bisa sejalan dengan stabilitas ekonomi.

Realisasi pembiayaan utang pada Semester I-2018 tercatat Rp 176 triliun atau sebesar 44,09% dari target APBN tahun 2018. Secara detail, target pembiayaan defisit APBN melalui penerbitan Surat Berharga (neto) untuk APBN tahun 2018 sebesar Rp 414,52 triliun.

Hingga semester I tahun 2018 penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) telah mencapai Rp 192,6 triliun atau 46,46%. Kemudian realisasi pinjaman neto pada semester I-2018 tercatat negatif Rp 16,58 triliun. Pinjaman dalam negeri (neto) yang terealisasi negatif Rp 513 miliar yang seluruhnya merupakan pembayaran cicilan pokok dalam negeri.

Sementara itu penarikan pinjaman dalam negeri belum dilakukan hingga akhir semester I tahun 2018. Pertumbuhan pembiayaan utang menunjukkan tren yang menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 yaitu 15,28%.

"Pembiayaan SBN mengalami tren penurunan sebesar 16,88% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017," kata Sri Mulyani.

Sementara itu untuk pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri mengalami pertumbuhan 77,86% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Tren penurunan juga terjadi pada penarikan pinjaman luar negeri yang turun 9,02% dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri mengalami pertumbuhan sebesar 11,81% apabila dibandingkan dengan periode 2017.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, proyeksi keseimbangan primer sampai akhir tahun 2018 masih negatif. Meskipun realisasi sampai semester I-2018 surplus Rp 10 triliun.

Keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan dikurangi belanja yang tidak termasuk pembayaran utang. Keseimbangan primer biasanya anggaran yang berasal dari utang untuk membayar bunga utang.

"Hingga akhir tahun, outlook keseimbangan primer masih negatif namun lebih rendah dari APBN," kata Sri Mulyani di ruang rapat Banggar DPR RI, Jakarta, Selasa (17/7/2018).

Dalam prognosis APBN 2018, keseimbangan primer ditetapkan Rp 87,3 triliun, realisasi sampai semester I sebesar Rp 10 triliun. Sedangkan proyeksi semester II bakal negatif Rp 74,9 triliun, sehingga, sampai akhir tahun negatif Rp 64,8 triliun.

Dengan begitu, pemerintah akan kembali berutang demi membayar utang alias menggali lubang untuk menutup lubang. Meskipun proyeksinya lebih rendah dari APBN.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga memproyeksikan defisit anggaran sampai akhir 2018 sebesar 2,12% atau lebih rendah dibanding APBN yang sebesar 2,19%.

"Defisit 2018 perkirakan akan lebih rendah dari UU APBN, dari 2,19% nanti 2,12%," tutup dia.

Sri Mulyani mengatakan strategi pengelolaan utang bakal dilakukan secara hati-hati. Apalagi desain APBN di tahun depan masih mengandalkan utang untuk menutupi defisit anggaran.

"Maka dapat disusun APBN yang defisit yang pembiayaannya dapat ditutup dari sumber-sumber pembiayaan yang aman," kata Sri Mulyani di ruang rapat paripurna DPR RI, Jakarta, Selasa (17/7/2018).

Hal ini, kata Sri Mulyani sejalan dengan Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, yang menyatakan bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, lalu ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam undang-undang tentang APBN.

"Sumber-sumber pembiayaan tersebut ditetapkan secara hati-hati dan dibahas serta disepakati oleh Pemerintah dan DPR dalam UU APBN. Kebijakan tersebut dilaksanakan dalam batas rasio defisit anggaran terhadap PDB maksimal sebesar 3% dan rasio total pinjaman terhadap PDB maksimal sebesar 60%," jelas dia.

Masih dalam laporannya, Sri Mulyani mengatakan defisit APBN 2017 telah berhasil dijaga pada tingkat relatif rendah yakni sebesar 2,49% terhadap PDB. Tingkat defisit ini masih di bawah batasan maksimal yang diatur dalam UU.

"Defisit tersebut selanjutnya ditutup dengan pembiayaan yang dikelola secara prudent, sehingga mampu mewujudkan kondisi fiskal yang sustainable," jelas dia.

Adapun, kebijakan pembiayaan akan terus dilakukan dengan cara mengendalikan rasio utang terhadap PDB dalam batas yang manageable, memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif dan menjaga keseimbangan makro, mengembangkan dan mengoptimalkan pembiayaan yang kreatif dan inovatif untuk mengakselerasi pembangunan serta meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM.

Lalu, menyempurnakan kualitas perencanaan investasi Pemerintah, mendukung upaya peningkatan ekspor antara lain melalui program National Interm Account (NIA), dan membuka akses pembiayaan pembangunan dan investasi kepada masyafakat secara lebih luas.

Menurut Sri Mulyani, dalam pengelolaan disiplin anggaran pemerintah telah dan akan terus menggunakan pinjaman hanya untuk mendanai program-program produktif yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Program-program tersebut tidak seluruhnya menghasilkan aset tetap bagi pemerintah pusat.

Selain itu, program-program yang sudah dijalankan seperti pembangunan infrastruktur pun dapat mengentaskan kemiskinan, peningkatan kesehatan, peningkatan kualitas pendidikan yang berdampak pada peningkatan kualitas SDM di Indonesia.

"Jadi, mengenai utang pemerintah akan mengelola utang negara dengan hati-hati dan pemerintah akan memberhentikan belanja pemerintah pada hal yang tidak produktif," jelas dia.

Hide Ads