Jawaban Freeport Soal Kepastian Divestasi hingga Isu Pencitraan

Jawaban Freeport Soal Kepastian Divestasi hingga Isu Pencitraan

Danang Sugianto - detikFinance
Kamis, 26 Jul 2018 08:05 WIB
Jawaban Freeport Soal Kepastian Divestasi hingga Isu Pencitraan
Foto: Istimewa
Jakarta - Peluang untuk divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia sudah terbuka lebar. PT Inalum (Persero) sudah menandatangani Head of Agreement (HoA) dengan Freeport McMoRan pada 12 Juli kemarin.

Namun PTFI selalu saja menjadi magnet bagi perdebatan. Banyak yang masih mempertanyakan kelanjutannya dari proses HoA tersebut. Harga kesepakatan disebut-sebut juga terlalu mahal

Ada yang bilang HoA tidak mengikat sehingga berpotensi untuk batal. Bahkan ada juga yang berpendapat penandatangan itu dilakukan sebagai pencitraan lantaran dilakukan dekat dengan tahun politik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikFinance berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan Direktur Eksekutif PTFI Tony Wenas. Berikut berita-berita rangkumannya.

Proses Divestasi Setelah HoA Diteken

Foto: Istimewa
Inalum sendiri diharuskan menyiapkan dana sebesar US$ 3,85 miliar atau Rp 53,9 triliun (kurs Rp 14.000/US$) 60 hari setelah HoA ditandatangani. Lalu setelah saham itu dibeli bagaimana kelanjutannya?

PTFI Tony Wenas menjelaskan, proses divestasi merupakan salah satu bagian dari paket yang telah disepakati Freeport dan pemerintah. Setelah itu akan ada perpanjangan izin operasi untuk PTFI di Papua sebanyak 2x10 tahun atau sampai 2041.

Selain itu dalam persyaratan pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) itu, pemerintah juga berjanji akan memberikan stabilitas hukum dan perpajakan. Namun PTFI juga memiliki kewajiban untuk membangun smelter.

"Ini satu paket yakni soal perpanjangan izin operasi sampai 2041, pembanguan smelter, stabilitas perpajakan dan stabilitas hukum. Ini tentunya semuanya memberikan kepastian operasional ke depan untuk PTFI," terang Tony.

Untuk pembangunan smelter, Tony mengatakan progresnya sudah penyiapan lahan, detail desain hingga peralatan. Meski belum mulai membangun dia mengaku PTFI telah mengeluarkan dan untuk persiapan lebih dari US$ 100 juta.

"Kami juga sudah membelanjakan lebih dari US$ 100 juta untuk persiapan itu. Tapi semuanya tergantung paket kerjasama itu. Lokasinya ada di Gresik tapi ada altenernatif lain kami akan kerjasama dengan Amman Mineral," tambahnya.

Sementara untuk struktur organisasi setelah divestasi nantinya, PTFI akan tetap sebagai pihak yang melaksanakan kegiatan operasional. Inalum sebagian besar berperan sebagai pemegang saham.

"Tentu partnership dengan catatan bahwa yang me-manage operasionnal Freeport. Karena kami juga investasi US$ 8 miliar di tambang bawah tanah itu. Semua dilakukan sesuai dengan long therm investment plan yang sudah ada sekarang dan disepakati bersama," tambahnya.

Menurut catatan Tony PTFI sudah menyiapkan strategi jangka panjang untuk mengelola tambang bawah tanah Grassberg dengan total nilai investasi sebesar US$ 15-20 miliar sampai dengan izin operasi habis pada 2021.

Dia memastikan seluruh kebutuhan dan investasi itu akan berasal dari internal PTFI. Inalum tidak akan dibebani atas rencana jangka panjang PTFI itu.


Masih Adakah Kekayaan di Tambang yang Dikuasai Freeport?

Foto: Istimewa
Masyarakat Indonesia akhirnya bisa meredam kekesalan setelah selama puluhan tahun tambang Grasberg dieskploitasi oleh perusahaan AS itu. Namun apakah tambang tersebut masih bisa memberikan keuntungan nantinya, mengingat sumber daya dipermukaan tambang sudah habis dikeruk.

Tony Wenas menjelaskan saat ini pihaknya sudah melakukan eksploitasi tambang bawah tanah Grasberg. Menurutnya cadangannya masih sangat besar yakni 38 miliar pound untuk tembaga dan 38 juta untuk cadangan emas.

"Bahkan mungkin tambang ini masih bisa dikelola sampai setelah 2041. Itu masih di tempat yang sama. Jadi ini masih menjanjikan. Tambang Grassberg ini tambang kelas dunia, jadi sangat baik bagi pemerintah dan Inalum ikut di dalamnya. Bagi kami juga baik ada partner," terangnya.

Meski begitu, menurut Tony, pemerintah sebelumnya juga mendapatkan jatah keuntungan dari tambang Grasberg berupa royalti. Belum lagi adanya tarik pajak dalm berbagai bentuk.

"Kami dibilang katakan oleh royalti emasnya hanya 1%. Tapi kenyataannya bukan 1%, ada double royalti yang disepakat di 1997, royalti tembaga 3,7% bahkan ada double royalti juga," tuturnya.

Dalam rezim kontrak karya, PTFI juga dikenakan pajak penghasilan badan (PPh) sebesar 35%. Lebih tinggi dibanding PPh badan perusahaan pada umumnya 25%.

"Jadi keseluruhan penerimaan negara ini besar sekali, dari pajak penghasilan badan, kalau perusahaan lain hanya bayar 25% Freeport itu bayar 35% karena kontrak karyanya bicara seperti itu. Kemudian ada pajak-pajak lainnya, pajak daerah dan royalti yang jumlahnya keseluruhannya miliaran dolar," tambah Tony.

Tony memperkirakan, pemerintah sejatinya mendapatkan bagian dari pendapatan kotor PTFI sekitar 60%, sedangkan PTFI 40%. Menurutnya porsi itu akan lebih besar setelah Inalum resmi menjadi pemegang 51% saham PTFI. Apalagi nantinya sudah tidak adalagi hak partisipasi Rio Tinto di tambang tersebut.

"Ke depannya setelah bersama Inalum bisa lebih lagi, barangkali 75% untuk negara, 25% untuk Freeport," ucapnya.

Divestasi Disebut Pencitraan, Ini Tanggapan Freeport Indonesia

Foto: Miningglobal.com/Istimewa
Penandatanganan Head of Agreement (HoA) divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia dianggap sebagai upaya pencitraan. Sebab waktu penyelesaian divestasi itu dekat denga tahun politik.

Benarkah hal itu? Mengapa HoA ditandatangai di pertengahan tahun ini?

Direktur Eksekutif PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas menjelaskan, proses divestasi 51% saham PTFI sebenarnya membutuhan waktu yang sangat panjang. Negosiasi antara pemerintah dan Freeport cukup alot sehingga membutuhkan waktu yang lama.

Setelah Kementerian ESDM mengubah rezim perizinan dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pemerintah Freeport McMoran semakin intens melakukan negosiasi. Dari saat itu total waktu yang dibutuhkan hingga mencapai kesepakatan sekitar 18 bulan.

"Kami melakukan negosiasi selama 1,5 tahun, cukup intens dengan berbagai macam hal. Tentu sangat melelahkan, saya yakin timnya pemerintah dan Inalum juga lelah. Tapi saya yakin keputusan ini baik untuk semua pihak," kata Tony.

Tony mengaku tidak kesepakatan khusus dengan pemerintah kapan HoA diteken. Kebetulan saja keinginan pemerintah dan Freeport mencapai titik temu tahun ini.

"Kami tidak ikut berpolitik, yang jelas kami menganggap ini hal yang baik, dilakukan lebih cepat, ya lebih baik. Kami bahkan berharap selesai tahun lalu. Saya dengar ini timing-nya saja kebetulan jatuhnya sekarang, apalagi kita juga sudah cukup letih," akunya.

Dia yakin inti kesepakatan dan waktu penyelesaian merupakan yang terbaik bagi pemerintah, Freeport maupum masyarakat. Apalagi PTFI akan mendapatkan perpanjangan izin operasi untuk PTFI di Papua sebanyak 2x10 tahun atau sampai 2041.

Selain itu dalam persyaratan pemberian IUPK itu, pemerintah juga berjanji akan memberikan stabilitas hukum dan perpajakan. Meskipun PTFI juga memiliki kewajiban untuk membangun smelter.

"Ini win-win untuk semua pohak. Ini juga harapannya baik untuk masyarakat, khususnnya untuk masyarakat Papua. Jangan lupa pemerintah provinsi juga dapat saham. Jadi ini hasilnya baik, walaupun letih tapi kalau hasilnya baik saya senang, malah letihnya jadi hilang," ujarnya.


Keruk Tambang RI, Apa Saja Kontribusi Freeport?

Foto: Istimewa

PT Freeport Indonesia (PTFI) telah hadir di Indonesia sudah lebih dari setengah abad. Namun sejak pertama kali beroperasi pada 1967 hingga saat ini perusahaan ini selalu menjadi sumber kontroversi.

Sebagian masyarakat menilai PTFI ada di Indonesia hanya untuk mengeruk tembaga dan emas di Grasberg saja, yang katanya merupakan tambang emas terbesar di dunia. Apalagi PTFI disebut-sebut cuma memberikan royalti 1% untuk eksploitasi tambang.

Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama menampik pandangan itu. Menurutnya sejak pertama kali hadir, PTFI sudah memberikan sumbangsih untuk perkembangan kehidupan masyarakat sekitar tambang Grasberg, Mimika, Papua.

"Waktu Freeport masuk 1967 pertama mulai dari fasilitas umum, fasilitas dasar untuk masyarakat sangat-sangat tidak ada. Jadi kami inisiatif sendiri," tuturnya kepada detikFinance.

Riza menambahkan, PTFI sejak awal berdiri sudah membangun beberapa sarana dan prasarana untuk masyarakat sekitar. Mulai dati infrastruktur, rumah sakit, pusat penelitian malaria, masjid, gereja hingga sekolah.

PTFI juga menganggarkan 1% dari pendapatan kotornya untuk kegiatan sosial kepada masyarakat sekitar. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 1 triliun pertahun.

"Kalau dihitung rata-rata 5 tahun terakhir itu rata-ratanya 1 tahunnya Rp 1 triliun untuk masyarakat," ujarnya.

Uang tersebut dikelola melalui saluran, pertama oleh PTFI sendiri untuk membangun infrastruktur dan sarana sosial. Kedua diberikan kepada yayasan sosial masyarakat seperti Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Komoro.

Saat ini PTFI sudah membangun 2 rumah sakit, 1 lembaga pendidikan vokasi Nemangkawi Institute hingga 5 asrama yang tidak hanya terletak di Papua tapi juga sampai ke Semarang dan Manado.

"Asrama ini untuk anak-anak yang rumahnya digunung, jauh dari sekolah. Selain itu juga untuk anak-anak yang dapat beasiswa kemudian melanjutkan kuliah di kota-kota lain," tuturnya.

Untuk program beasiswa, PTFI juga menggandeng American Indonesian Exchange Foundation (Aminef). PTFI memberikan dana sekitar US$ 1 juta agar Aminef menyekolahkan anak-anak papua di AS.

Sementara untuk lembaga pendidikan vokasi Nemangkawi Institute, Riza menghitung sudah ada sekutar 4.000 warga Papua yang telah lulus. Mereka dilatih bukan hanya untuk baca dan tulis tapi juga keahlian khusus pertambangan.
Halaman 2 dari 5
(ang/ang)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads