"Intervesinya misalnya operasi pasar, kemudian dikira ada kartel-kartel. Ternak ternak dicurigai dan dianggapnya ada penumpukan padahal kalau ternak-ternak ada di timbun itu kan tidak laku. Jadi malah menyakitkan bukan kita nggak mau jual tapi kalau nggak laku ya gimana lagi," kata dia kepada detikFinance, Senin (30/7/2018).
Sebagai informasi, kandungan bahan impor dalam bahan baku paka dalam ternah terdapat sekitar 35%. Impor bahan baku pakan ternak berasal dari 5 negara, mulai dari Australia, Brasil, hingga Amerika Serikat (AS). Rinciannya, bungkil kedelai diimpor dari Brasil, Argentina dan AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan tidak ada pilihan lain selain menahan tekanan harga yang diberikan pemerintah dan menerima harga pakan yang semakin hari semakin mahal.
"Gambaran ruginya gini, kan sekarang pakan ternak itu Rp 5700/ kg kemudian biaya pokok produksi 3 x 0,5 dari harga pakan itu belum yang kena penyakit dan sebagainya nah itu yang dihitung rugi ya kalau duah gitu ya gimana. ya kita bertahan aja," jelas dia.
Ia pun tidak bisa mengurangi pakan karena jika kandungan pakan dikurangi maka kualitas telur dan ternak akan menurun.
"Karena kan kalau dikurangi pakannya kan dia nggak mau bertelur. Kurang asupan nutrisi juga nanti malah menyakitkan. Sampai sekarang masih bertahan dengan pakan yang mahal mau nggak mau. kalau bahannya dicampur lokal ya paling jagung sama bekatul," kata dia.
Ia dan peternak lainnya berharap, Kementerian Pedagangan bisa menaikkan harga peternak dan harga eceran. Dari harga sebelumnya Rp 22.000/kg menjadi Rp 25.000/kg.
"Untuk telur kami mohon pada Pak Menteri Perdagangan tolong dinaikkan harga standarnya dan tolong pada Pak Menteri Pertanian berkaitan dengan jagung kalau memang ada daerah Jawa sulit karena ada kemarau kalau perlu perlu mau dengan cara di bulog atau impor dan lain sebagainya monggo yang penting pakannya terjangkau biar nanti bisa mengurangi harga ongkos produksi," ujar dia.