"Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengakui bahwa AMR adalah masalah global bagi kesehatan masyarakat dan hewan yang utama dan sangat penting diatasi saat ini, serta mendesak semua negara untuk memprioritaskan tindakan untuk pengendalian AMR," ungkap Fadjar dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/8/2018).
Hal tersebut terungkap saat pertemuan para penggiat komunikasi tingkat ASEAN atau ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) ke-6 yang dilaksanakan selama 4 (empat) hari dari tanggal 7-10 Agustus 2018 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu melalui Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, sejak 1 Januari 2018 pemerintah juga melarang penggunaan AGP dalam pakan. Pelarangan ini juga diperkuat dengan Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan, yang mensyaratkan pernyataan tidak menggunakan AGP dalam formula pakan yang diproduksi bagi produsen yang akan mendaftarkan pakan.
Dia melanjutkan, risiko AMR tercatat lebih tinggi di negara-negara di mana peraturan perundang-undangan, pengawasan regulasi dan sistem pemantauan mengenai penggunaan antimikroba hampir tidak ada.
"Pencegahan dan pengendalian AMR yang tidak memadai dan lemah di beberapa negara akan meningkatkan risiko penyebarannya," ucapnya.
Menurutnya, AMR adalah masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan multi-sektoral untuk penanganannya. Di masyarakat sendiri saat ini telah mulai ada kesadaran dan pengingkatan kapasitas teknis soal pencegahan dan pengendaliannya. Hanya saja Fadjar mengatakan, untuk sektor kesehatan hewan masih agak tertinggal.
"Saat ini sudah terlihat adanya peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan kapasitas teknis di kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengandalian AMR, namun untuk sektor kesehatan hewan masih sedikit tertinggal," ungkapnya.
Imron Suandy selaku delegasi Indonesia pada pertemuan tersebut mengatakan semua negara anggota ASEAN sepakat untuk merumuskan bersama langkah-langkah komunikasi yang tepat dalam menyampaikan bahaya resistensi antibiotik dan peran serta masyarakat dalam mencegahnya.
"Berbagai kegiatan komunikasi dan pesan kunci terkait AMR kepada pemangku kepentingan khususnya masyarakat kita bahas bersama," ucapnya.
Menurutnya, strategi komunikasi dan advokasi resistensi antimikroba tingkat regional sebelumnya telah sepakati oleh para Menteri Pertanian se-Asia Tenggara untuk menjadi pedoman bagi semua negara anggota ASEAN dalam memberikan arah yang tepat pada pelaksanaan kerangka kerja, serta untuk menyempurnakan dan mengembangkan kesadaran terkait AMR.
Imron menyebutkan, pemerintah telah memiliki Rencana Aksi Nasional yang merupakan hasil pemikiran dan konsep bersama dari berbagai sektor. Konsep yang disusun sejalan dengan 5 (lima) tujuan strategi global yaitu:
Meningkatkan pemahaman, kepedulian dan kesadaran terkait resistensi antimikroba, memperkuat pengetahuan dan basis data (evidence) melalui surveillans dan penelitian, melakukan upaya pencegahan infeksi yang efektif melalui penerapan higiene, sanitasi, dan biosecurity.
Kemudian mengoptimalkan penggunaan antimikroba, serta mengembangkan investasi yang berkelanjutan berbasis ketersediaan sumber daya lokal dalam penemuan obat-obatan baru, alat diagnostik, vaksin dan intervensi lainnya dalam upaya pengobatan.
"Bentuk edukasi yang sudah kita lakukan dalam bentuk kegiatan seperti Studium General (Kuliah Umum) di perguruan tinggi, kampanye lewat kegiatan CFD, dan perlombaan essay, pembuatan video pendek terkait AMR, penyabaran informasi melalui media sosial (FB, Instagram, Twitter dan YouTube)," pungkasnya. (idr/eds)