Viral Penumpang Taksi Dihadang di Bandara Semarang, Ini Kata YLKI

Viral Penumpang Taksi Dihadang di Bandara Semarang, Ini Kata YLKI

Dana Aditiasari - detikFinance
Selasa, 14 Agu 2018 18:40 WIB
Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom
Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kasus yang menimpa konsumen taksi bernama Nathalie di Bandara Ahmad Yani, Semarang, belum lama ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Butuh perhatian serius dari regulator terutama operator bandara dengan menitikberatkan kepentingan konsumen.

"Konsumen sebagai pengguna taksi sering menjadi korban, baik karena mahalnya tarif taksi dan atau kualitas pelayanannya yang tidak standar. Fenomena ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, tanpa solusi jangka panjang," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Selasa (14/8/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Pada kasus Nathalie, 15 Juli 2018, taksi pilihannya diberhentikan di tengah jalan oleh oknum petugas setempat.

Alasannya, taksi berwarna biru pilihannya bukan taksi bandara sehingga dia harus turun pindah taksi yang ditentukan operator bandara. Atau diantar keluar bandara baru kemudian bebas memilih moda transportasi.

Mengingat banyaknya bandara yang berstatus enclave sipil (pemanfaatan bandara militer untuk umum) di Indonesia maka Tulus mengusulkan sejumlah poin kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Pemerintah Daerah (Pemda), Angkasa Pura, dan pihak terkait lainnya. Tujuannya untuk menjaga kepentingan konsumen.

Usulan-usulan dimaksud antara lain, memberikan akses lebih banyak taksi dari berbagai merek perusahaan taksi di bandara, terutama taksi yang berbasis argo meter.

"Semakin banyak perusahaan taksi, semakin kuat jaminan bagi konsumen untuk memilih," ucapnya



Selain itu, kalau pun di bandara tersebut hanya terdapat perusahaan taksi tunggal dari suatu operator tertentu maka harus ditentukan melalui proses lelang alias tender yang terbuka dan transparan.

"Supaya tidak melanggar praktik persaingan usaha yang tidak sehat," tegasnya.

Manajemen bandara juga harus membuat Service Level Agreement (SLA) dengan perusahaan taksi yang beroperasi di bandara.

"Dengan berbasis SLA itulah menjadi dasar adanya standar pelayanan taksi yang jelas dan terukur. Bagi perusahaan yang tidak mampu memenuhi SLA harus didiskualifikasi dari bandara," Tulus menjelaskan.

Kemenhub dan Pemda harus pro aktif menyelesaikan permasalahan pengelolaan taksi di berbagai bandara enclave sipil di Indonesia.

"Selain dengan armada taksi, setiap bandara idealnya menyediakan akses angkutan umum non taksi, baik yang berbasis rel, bus umum, Damri, dan atau BRT (Bus Rapid Transit)," imbuhnya.

Tulus berharap solusi segera dan bersifat jangka panjang dari persoalan itu.

Sebab di banyak bandara lainnya ditemukan masalah yang lebih memerihatinkan terkait kepentingan konsumen dalam memilih moda transportasi. (dna/fdl)

Hide Ads